"Kita dapet order. Ayok, ke tempat biasa, gak usah ke kantin. Udah ada makanan di sana.""Order apaan, si? Jual obat, ya, lo pada? Gue ogah ikut, ah, kalo gitu."
"Ssttttt... " Miki mendesis dengan telunjuk di bibir. "Bukanlah. Jasa dekeng, gue bilang. Ayok!"
Alex menarik Pram, membawanya keluar dari kelas, berjalan di belakang Miki.
-
"Miki liat potensi lo dari pandangan pertama. Dia gak akan deketin lo kalo semisal lo cupu," kata Deki setelah dia menjelaskan tentang jasa yang tongkrongan mereka jual; backing-an tawuran.
Miki tersenyum dengan Alex di sampingnya yang nyengir lebar. Syalan mereka, dari awal memang sudah targetin Pram ternyata.
"Kenapa gak tawuran atas nama sekolah sendiri? Lo semua malah jadi backing-an orang. Karena dibayar?" Pram dengan santai menanggapi sembari mengunyah mie goreng dalam cup yang dibelikan Deki. Dia tidak masalah, tidak merasa dikhiati oleh Miki atau Alex. Tawuran... dulu juga di sekolah lama, Pram kadang mengikutinya dengan teman-temannya. Tapi soal jasa dekeng ini, Pram baru dengar.
"Ya, kalo dibayar sih itu bonus, nanti juga duitnya dibagiin. Pada dasarnya, kita semua di sini emang anak-anak pecinta kerusuhan dari SMP. Tapi di sekolah ini, sejak beberapa tahun yang lalu, gak ada lagi toleransi kalo bawa kerusuhan atas nama sekolah. Lo bisa ditendang dan nama lo bisa aja kena blacklist semua sekolah. Jadi, kita buka jasa dekeng. Jasa ini udah jalan dari sejak gue kelas satu."
"Lah, gak sama aja, tuh? Ketahuan juga."
"Ya, gak ketahuan lah, Pang. Asal gak ada yang cepu, dan kita pinter kabur kalo ada polisi. Kita ngikut tawuran gak pake seragam. Pake jaket doang. Atau kadang anak yang minta dibantuin, kasih kita pinjem baju seragam dia atau baju olahraganya."
Kening Pram mengerut.
"Seru, Pang. Lo pasti suka," kata Deki sembari menepuk pundak Pram.
"Yaaa... keknya." Pram akhirnya mengangguk. Lalu melanjutkan makan, mempercepat makannya. Yang lain sudah pada selesai makan, lagi sibuk main handphone sambil mengemut permen karena di sekolah tidak boleh merokok.
-
Sepulang sekolah, mereka kumpul di basecamp. Melepas seragam, jadi hanya menggunakan jaket. Rata-rata mereka pakai hoodie atau jaket ke sekolah, yang tak pakai pun selalu menyimpan di bagasi motornya.
"Parkir motor di mall, terus tar jalan jangan gerombolan, kek biasa."
Semuanya mengangguk. Mereka akan baku hantam di jalanan yang sepi.
"Gak bawa senjata?" Sebagian yang lain sudah berangkat. Pram melirik Deki, bertanya.
"Gak. Yang tuan rumah yang biasanya pada bawa senjata. Kita memperkecil konsekuensi. Kalo bawa senjata, tar kalo ketangkep polisi lebih berabe. Lo bisa, kan?"
Pram terdiam. "Sabuk?"
Deki mengangguk. "Boleh, kalo lo mau. Asal jangan senjata tajam."
Pram mengangguk. "Oke." Dia kemudian melepas ikat pinggangnya. Bukan dari bahan kulit, tapi akan cukup sakit kalo dipecut menggunakan itu.
-
Saat berjalan menghampiri anak-anak sekolah lain yang membutuhkan backing-an mereka, Deki merangkul bahu Pram sepanjang jalan.
"Gue baru liat," kata seseorang dengan wajah preman, berseragam olahraga. Ketua jagoan sekolah yang memesan jasa mereka.
"Anggota baru." Deki memperkenalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
Ficção Geral**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...