"Oy!"Sudah mau syukuran beberapa hari ini tidak melihat Jhona. Pram kira orang itu sudah minggat. Maaf-maaf, bukan tak tahu diri mengharapkan yang punya rumah pergi.
Pram menengok ke belakang. Kurang cepat nih dia mengendarai motor. Lima menit sampai lebih awal saja, dia tidak harus bertemu dengan Jhona yang baru sampai rumah juga itu.
"Ke mana aja? Kirain, lo gak akan balik rumah lagi. Sayang, ternyata lo balik lagi."
Lu yang gue kira gak akan balik lagi, syukur-syukur, rutuk Pram dalam hati.
"Untung aja Papa lagi pergi dari kemaren sama Mama. Jadi gak usah tuh gue denger dia khawatirin lo karena anak gak jelasnya ini gak balik, atau lebih parah mungkin Papa bakal nyuruh gue cariin lo, males banget gue kalo sampe gitu ceritanya."
Ya, Pram tahu papanya pergi dari kemarin. Erik mengiriminya pesan. Makanya, Pram lebih milih tidak pulang.
Pram berbalik, melanjutkan langkahnya. Baru terpikir... bego! Napa juga dia harus nengok, padahal lanjut jalan aja, jangan hiraukan Jhona. Baru kepikiran setelah saudara tirinya itu tinggal beberapa langkah lagi menuju Pram. Kakinya yang jenjang dengan mudah mendekat, dan tangannya yang panjang tidak akan sulit untuk meraih bahu Pram.
"Gak mau banget lo jalan sama gue," kata Jhona setelah dia mendapatkan Pram.
Pram memasang wajah datar, tak menyahut. Dia biarkan Jhona melakukan apa pun yang dia mau. Jhona merangkul bahu Pram, membawanya melangkah menaiki tangga dengan senandungan yang mengalun dari bibirnya, yang di telinga Pram terdengar seperti soundtrack film pembunuhan.
"Dek!"
Ada Dante di ujung tangga atas.
"Dua lawan satu. Kita apain, nih?" tanya Jhona.
Pram meliriknya sekilas. Mendelik samar.
"Lepasin aja, tar lo yang dimarahin Papa." Dante menyahut sembari menuruni tangga.
"Sayang kalo dilepasin. Ya, tinggal kita bikin dia gak bisa ngadu aja."
"Gue gak pernah ngadu!" Pram menegaskan dengan sewot. Mengadu itu senjatanya orang cupu, dia tak suka dibilang begitu.
"Bikin lo gak bisa ngomong," kata Jhona kemudian, dengan senyumnya yang menyeramkan. Tangannya mencengkram dagu Pram.
"Bang, katanya lo mau bikinin gue pasta." Dante melirik Jhona sembari berjalan melewati mereka.
Jhona menoleh ke belakang. Dante sudah melewatinya.
"Lo mau?"
"Iya, gue laper."
"Katanya masakan gue gak enak?"
"Kan, lo bilang udah memperbaiki resep."
"Oh, yeah. Gue yakin kali ini enak."
Jhona melepaskan Pram begitu saja, berbalik, menuruni tangga, menyusul adiknya.
Pram mengembuskan napas panjang. Melirik punggung Jhona yang menuruni tangga, ingin sekali menendangnya dari belakang. Dengan desahan kesal, dia melanjutkan langkah dengan bebas, tanpa orang gila itu. Seiring langkahnya mengayun, Pram jadi terpikir... apa Dante baru saja membantunya terlepas dari Jhona? Kenapa Pram merasa dari caranya... Dante memang bermaksud mengalihkan perhatian Jhona. Atau itu hanya karena Dante tak suka Jhona dekat-dekat dengan Pram?
Pram berpikir... kemudian mendengkus. Kenapa jadi harus dia pikirkan?! Yang penting, kan, dia bisa terlepas dengan cepat dari orang menyeramkan itu.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...