PART 24

3.1K 491 37
                                    

Satu bulan berlalu, gipsnya sudah dilepas, tapi Pram masih menggunakan kruk karena kakinya masih terasa sakit dan bengkak. Satu bulan selanjutnya, baru dia bisa berjalan sendiri tanpa bantuan kruk, walau awalnya terasa aneh karena terbiasa memakai alat bantu itu. Perlu waktu beberapa hari untuk Pram terbiasa seperti normal lagi.

-

Mereka kini sedang menempuh ujian akhir semester. Pram kesulitan, otaknya makin terasa sulit untuk memahami sesuatu. Untung ada Miki yang selalu pintar memberikan contekan dalam diam.

--

Di kantin sedang ramai dan bising, alih-alih mendengarkan Alex yang sedang berceloteh, Pram memilih menatap ke arah lain, mengedarkan pandangan ke sekitar--tempat orang-orang sedang asik becanda dalam satu meja. Percuma mencoba mendengarkan di suasana yang bising, telinganya tidak bisa menangkap suara Alex dengan jelas. Jika mencoba mendengarkan dengan seksama, dia yang jadi sakit kepala.

Alex menepuk tangan Pram yang sedang menyangga kepala, lalu dia terlihat berbicara.

"Gue gak denger jelas lo ngomong apa, makanya jangan ke kantin, gedung kosong aja ayok, yang lebih sepi," kata Pram, memotong omongan Alex yang entah apa.

Mereka bertiga akhirnya beranjak, beralih tempat ke gedung kosong. Selama melangkah di Koridor pun, Pram tak mendengarkan celotehan kedua temannya itu. Koridor juga berisik, kegaduhan siswa-siswi lain membuat telinganya tidak bisa mendengar suara Alex dan Miki.

"Telinga lo kenapa, sih? Budeknya makin parah, lo kan masih muda?" tanya Alex saat mereka sudah duduk bertiga di bangku gedung kosong. Yang lain tidak ke sini, karena jam istirahat di waktu ulangan hanya sebentar sebenarnya, jadi tanggung.

Pram menatap Alex. Dia masih bisa mendengar, tapi suara yang ditangkap telinganya seperti tenggelam.

"Kurang kenceng lo ngomong." Mata Pram menyipit, fokus pada bibir Alex yang terlihat mengembuskan napas panjang.

"TELINGA LO! KENAPA?! MAKIN BUDEK!"

Miki terbahak. Alex ngomong terlihat sebisa mungkin sambil menahan emosi. Dia yang jadi keliatan kayak gak waras, teriak-teriak di ruangan yang sunyi.

Pram mengedikan bahu. "Ada infeksi katanya yang bikin kemampuan denger gue bakal ilang. Libur sekolah ntar, gue mau pasang implan gitu dalem telinga biar bisa denger jelas lagi."

"IMPLAN APAAN?!" Miki sekarang yang bertanya dengan berteriak.

"Koklea... rumah siput, lo pernah denger, kan?"

Miki mengangguk. "Ya, pelajaran IPA," sahutnya dengan nada biasa, entah Pram akan mendengar atau tidak.

"NAPA GAK PAKE ALAT BANTU DENGER YANG BIASA ORANG PAKE?!"

Pram menepuk tangan Miki. "Jangan kecepetan ngomong lo! Gue liat mulut lo, nih!"

Pram sewot. Miki memejamkan mata, mengembuskan napas perlahan. Jangan maki, Mik. Kasian.

"NAPA GAK PAKE ALAT BANTU DENGER YANG BIASA ORANG PAKE?!" Miki mengulang pertanyaan dengan mulut terbuka lebar, berbicara agak lambat dengan ejaan yang jelas.

"Gak akan ngaruh, budek gue bakalan parah," sahut Pram.

Alex bergidik. "Hih, serem banget dah. Penyebab infeksi lo apa? Takut juga gue kek lo."

"Tereak." Miki menepuk bahu Alex, mengingatkan.

Alex menghela napas. Lupa. Beberapa hari ini, memang susah banget mereka komunikasi sama teman budeknya yang satu itu. Berasa ngomong sama neneknya di rumah, yang sudah berusia 90 tahun.

"PENYEBAB INFEKSI LO APA?!"

Pram mengedikan bahu. "Mana gue tahu," sahutnya.

Alex tidak menemukan kepuasan dari jawaban Pram, padahal dia sudah berteriak sekuat tenaga.

"Kata nyokap gue, Lex, kalo lo sering gak dengerin omongan nyokap, itu bakal bikin lo budek," Miki berucap, sebelum Alex protes.

Alex melebarkan mata. "Hm?... gue sering banget gak dengerin omongan nyokap lagi. Gue juga ngejawab kalo diomelin nyokap."

"Nah, lo ada potensi tuh buat jadi budek sama mencong bibir lo karena nyahutin mulu kalo mak lo ngomong."

"Heh! Sembarangan! Kata siapa lo?!"

"Kata mak gue."

"Mak lo itu."

"Ya, sama. Ya, Pang?"

Pram mengangguk saja. Entah karena tidak mendengar atau karena tidak punya mak yang pernah ngomong gitu.

-

Dua bulan berlalu dari rentetan kejadian; Demon yang memberi pelajaran pada Dante kemudian Alya yang membalasnya pada Pram lalu Pram yang meneriakkan isi hatinya di hadapan Alya.

Pram sampai rumah. Alya sedang menyiram bunga yang berjajar di tepi teras. Pram melewati Alya begitu saja. Tak ada yang bersuara atau menegur, mereka kini menjalani hidup masing-masing. Sejak kejadian di ruang makan saat itu, Alya tak pernah lagi menyinggung soal Vina dan tak pernah lagi berbicara pada Pram. Itu lebih baik, karena jikapun berbicara padanya, yang keluar dari mulut Alya hanya kata yang tidak enak didengar.

Pram memasuki rumah. Ini sudah sore dan di rumah sepertinya hanya ada Alya. Pram juga jarang melihat Jhona akhir-akhir ini, sedangkan Dante kalaupun ada di rumah, dia pasti ada di kamarnya.

Pram menapaki tangga. Mamanya... Pram sudah tidak berusaha untuk menemuinya lagi. Jawaban yang dia dapat secara tak langsung dari sepupunya waktu itu, sudah cukup. Biarkan mamanya hidup sebagaimana yang dia mau, Pram tidak akan mengganggu.

Pram masuk ke dalam kamar, melemparkan tas setelah menutup pintu. Lalu dia menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Rasa sakit kembali menggerayangi kepalanya sejak masih di sekolah. Sudah biasa, hampir setiap hari terjadi. Entah itu di bagian kanan, kiri, depan, belakang. Hanya intensitasnya saja yang berbeda; kadang sakit sekali, keleyengan yang mengganggu, atau hanya rasa pusing yang tidak berarti apa-apa.

Target pengobatannya 9 bulan dengan obat oral, tapi bisa juga sampai satu tahun atau lebih, tergantung dari bakteri yang menginfeksinya; sudah hilang atau belum. Pram tidak peduli dengan yang namanya kesembuhan, yang selalu dia takutkan hanya efek yang akan terjadi jika penyakitnya bertambah parah.

Pram berbalik menghadap jendela. Mengernyit saat cahaya matahari yang dalam perjalanan terbenam, terasa menyilaukan. Lalu dia kembali bergerak, berbalik ke arah sebelumnya.

--

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang