Pagi ini sepertinya Pram tidak sanggup untuk sekadar membuka mata pun. Badannya tidak bisa dipaksakan untuk bangun dan meminum obat pereda nyeri. Hanya bisa memejamkan mata erat sambil meringkuk dalam selimut.
Saat merasa ada yang memegang keningnya, Pram tidak bisa mendengar suara siapa dan tidak sanggup membuka mata untuk melihat siapa itu.
Sampai seseorang mengangkat kepalanya, Pram sedikit membuka mata. Ada Erik yang membantu menyangga kepalanya dan Alya menyodorkan sendok ke dekat mulutnya. Pram mengernyit saat pahit obat menyapa lidah. Erik kembali menidurkan kepala Pram dengan sangat pelan lalu seperti biasa; tangan itu mulai memijat-mijatnya. Pram masih dalam posisi meringkuk, Erik duduk di sebelah ranjang yang kosong.
-
-
"Papa lagi ke kantor dulu sebentar."
Alya duduk di tepi ranjangnya, mengambil mangkuk di atas nakas setelah membantu menumpuk beberapa bantal agar kepala Pram ada di posisi tinggi.
Kemudian Alya meniup lembut bubur encer yang ada di atas sendok lalu menyodorkannya ke mulut Pram.
"Kalau nanti siang kepalanya masih sakit, kita ke rumah sakit, ya?"
"Udah hilang, kok, Tan."
"Jangan bohong."
Pram tersenyum. Mendengar sahutan lembut Alya dan senyuman tipis di bibir itu, membuatnya tersenyum.
"Tante... "
"Hm?"
"Tante pernah liat muka mama-ku?"
Alya mengangguk. "Pernah," sahutnya. Ya, Alya belum pernah bertemu langsung dengan perempuan itu, tapi kala itu saat dia sudah di Semarang, seorang temannya mengirimkan foto Erik dengan seorang perempuan yang dipotret secara diam-diam.
"Mirip aku, ya?"
Alya mengangguk, mengakui. Bahkan, melihat Pram untuk pertama kalinya waktu itu, mampu mengembalikan kembali ingatan saat temannya mengirimkan foto--belasan tahun yang lalu yang membuat hatinya begitu sakit.
"Tan, maaf, ya. Ngeliat aku pasti nyakitin hati Tante."
Alya menggeleng. "Udah nggak, kok," katanya dengan senyuman hangat yang terpatri di bibirnya itu.
"Apa yang bikin Tante berubah baik?"
"Karena kamu baik," Alya menyahut tanpa ragu.
Pram menarik sudut bibirnya. "Aku gak baik, Tan. Aku nakal, nyusahin doang."
"Tante minta maaf udah pernah bilang yang nggak-nggak ke kamu. Waktu itu Tante cuma emosi sama Vina."
"Aku udah lupa... Tan, makasih, ya."
"Iya." Alya tersenyum seraya kembali menyuapkan satu sendok bubur.
"Tante, tahu gak kenapa Mama ninggalin aku?"
Alya menyahutnya dengan gelengan kepala. Untuk yang satu itu dia benar-benar tidak tahu. Erik tidak pernah membicarakan perihal Vina dengannya, karena dia tahu Alya tidak akan suka.
"Menurut Tante kenapa?"
"Jangan dipikirin, nanti bikin kepalanya sakit lagi," kata Alya. Bingung harus menjawab apa, dia juga tidak mengerti dengan setiap Ibu yang sampai hati meninggalkan anaknya, padahalkan mengandung dan melahirkan seorang anak itu dilewati dengan perjuangan.
"Kadang aku mau tahu banget, Tan."
"Mama kamu pasti nyesel udah ninggalin kamu."
Pram tersenyum. "Kayaknya nggak, Tan. Tadi aku mimpiin Mama. Aku lumayan sering mimpiin Mama, malah kadang serasa Mama ada di depan aku. Tapi, Mama mimpiin aku juga gak, ya, Tan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...