PART 12

3.1K 480 19
                                    

Beberapa minggu berjalan, kehidupan di rumah masih sama; sindiran halus atau kasar sering menyapa telinga. Dan, mungkin karena itu, gara-gara keseringan menulikan telinga, Pram jadi kayak tuli beneran; budek.

--

"Pang! Pang, oy! Budek, nih, orang."

Pram menoleh, mendengar kalimat terakhir dari suara yang dikenalnya.

Miki meraih pundaknya.

"Lo manggil kejauhan."

"Lo-nya yang kebudekan!" Temannya itu berjalan di sampingnya, menuju tempat absen--finger print, di dekat lobi.

Kehidupan sekolahnya semakin seru. Mereka lagi banyak orderan, tapi sekarang Deki membatasi, seminggu paling ngambil dua permintaan backing.

"Pang, itu si bos masuk ke ruang BK..."

Pram berjalan lurus, tidak menggubris.

"Pang!!! Asli, di kuping lu ada apaan, si?! Bocah tawuran mana nih yang nyangkut ke kuping lo?!"

Pram mendesis seraya mengusap-usap telinganya yang ditarik dan diteriakin Miki.

"Gue denger."

"Iya, gue teriakin, baru lo denger! Udah pikun, budek lagi lu."

"Kasar banget mulut lo!" Pram menyentil kesal mulut Miki. Dia tidak terima dibilang begitu, sekalipun banyak orang yang akhir-akhir ini mengeluhkan itu padanya.

"Ngintip, yok, Pang." Miki menarik Pram.

"Gak akan keliat, Mik. Kayaknya Bang Deki dipanggil karena mangkir mulu. Dia, kan, anak kelas tiga, bentar lagi ujian."

Miki tertegun. "Ya, juga sih, Pang, bisa jadi. Tapi, Demon sama Nunu kok gak dipanggil, mereka kan sama aja."

"Kan beda kelas mereka, Mik. Bang Deki sekelasnya sama Cipong, dan Cipong rajin sekolah. Mungkin Demon sama Nunu udah duluan dipanggil BK."

"Bener juga lu, Pang."

"Ya iya. Ayok, ke kelas ajalah, jangan kepo."

"Mm, ya dah, ayok."

Miki kemudian merangkul bahu Pram, kembali melanjutkan langkah mereka menuju gedung kelas, tidak jadi berbelok untuk mengintip ruang BK.

-

"Prameswada, bisa kerjakan soal nomor dua?"

"Hm? Nggak, Bu. Belum ngerti saya."

"Kalau belum mengerti, perhatikan ke depan!"

"Iya, Bu, maaf."

Perasaan dari tadi Pram melihat ke depan, hanya menengok beberapa saat ke arah jendela karena melihat Deki lewat.

Deki baru balik dari ruang BK? Lama banget di sana.

-

"Pang, Tuhan itu memang adil, ya?"

"Paan?" Pram melirik Miki yang berjalan di sisi kanannya.

"Lo cakep, tapi goblok banget. Masa setiap pelajaran gak pernah ngerti. Itu otak lo ada isinya gak sih, Pang?"

Miki, pria dengan mulut terlemes yang pernah Pram kenal. Dia sentil keras mulut itu. Dikira Pram tak punya hati yang akan tersakiti.

"Ke toko ikan sana lo, Mik. Beli filter!" kesal Pram.

Alex tertawa, meskipun dia setuju dengan ucapan Miki, tapi mulut Alex tidak pernah berani langsung nyablak kayak gitu, Alex punya filter yang cukup baik.

"Ya, abisnya, lo bikin guru kesel mulu karena gak paham-paham."

Miki pun terbahak-bahak.

Mata Pram mendelik padanya.

"Jangan ngambek, ya'elah. Pang! Gue beliin bodrex tar se-pack."

Pram meninggalkan Miki dan Alex, berjalan cepat mendahului. Mereka sama-sama akan menuju gedung kosong.

Tawa Alex dan Miki berhenti saat memasuki gedung kosong yang senyap, padahal orang yang biasa membuat ricuh, lengkap ada di dalam sana.

"Kenapa?" Miki maju, melewati Pram, meninggalkan Alex. Tuh, kan, benar dugaannya, ada yang tidak beres.

"Temen kelas lo... cepu!" Demon bersuara, melirik kesal pada mereka bertiga.

"Kenapa, Bang?" tanya Pram, memilih menghampiri Deki yang terlihat lebih santai dibanding Demon.

"Ada yang ngaduin, tapi untungnya cuma gue yang dia aduin, dia gak ngebocorin tentang lo semua. Bisalah gue handle kalo gitu. Lagian, baru dikasih peringatan doang. Kita jangan ambil order dulu aja, sampe guru dingin."

"Dante, kan, yang aduin?" Miki menebak dengan yakin.

"Lo tahu?" Demon melotot ke arahnya.

"Gue curiga dari lama, dia mata-matain kita."

"Napa gak lo kasih tahu kita dari awal?!"

"Lah, Bang, dari lama, kan, kita emang waspada sama anak itu. Gue pikir, dia gak akan berani ngaduin. Lo semua juga gak berani, kan, ancem dia?"

Demon menggebrak meja. "Tapi kali ini kita harus kasih dia pelajaran!" serunya dengan emosi. "Tar pulang sekolah! Tuh anak balik gak pernah pake jalan raya. Selalu jalan pintas biar gak macet. Gue tahu jalannya, lumayan sepi buat hajar orang."

"Hari ini kita udah ngambil order," Deki mengingatkan. "Udah terlanjur diambil. Kalo kita gak dateng, itu juga bakal jadi masalah."

Demon mendecak, mendengkus tak sabaran. "Yaudah, besok!" sentaknya.

"Tapi, Mon, gimana kalo nantinya, Jhona tahu, terus muncul buat bales dendam." Salah seorang anak kelas tiga, bertanya dengan resah.

Mereka yang anak kelas tiga, tentu mengenal Jhona. Kalau anak kelas dua, mereka hanya tahu ceritanya tanpa pernah tahu orangnya.

"Jhona?"

"Abangnya Dante, Pang. Gue denger-denger, serem banget tuh orang. Musuh bos jagoan di sini beberapa tahun lalu, tapi dia pernah muncul lagi, sekali, ikut ngebantai sama anak-anak sekolahnya dulu, hajar para jagoan di sini, pas bos Deki masih kelas satu. Dan awal masuk, si Dante dianter Jhona ke sekolah. Makanya, yang kenal Jhona, gak pernah ada yang berani sama Dante, sekalipun dia cupu. Takut itu setan satu keluar."

"Ohh."

Miki melirik. "Lo denger, kan?"

Pram menatap datar Miki yang lagi-lagi meremehkan pendengarannya.

Miki menahan tawa, situasinya sedang tidak tepat untuk terbahak.

-

Pram pulang ke rumah jam 7 malam. Memarkirkan motornya di samping motor Dante. Pram terdiam, menatap rumah, lalu melirik kanan-kiri. Dia turun dari motor, membuka bagasi jok. Mengambil pisau lipatnya. Dengan waspada, dia berjongkok. Lalu dengan sekuat tenaga menancapkan pisau kecil itu ke dalam ban motor yang ada di hadapannya, sampai robek.

Selesai. Pram bangkit. Memasukkan kembali pisau lipat itu ke dalam bagasi lalu menurunkan jok.

Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dalam hening, Pram melangkah menuju pintu rumah dengan santai... menarik sebelah sudut bibirnya. Merasa telah melakukan hal yang keren.


--

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang