Erik berada di dalam kamar Pram. Dia meninggalkan ruang makan begitu saja setelah Bibi yang mengantarkan makan malam untuk Pram, kembali dari lantai atas dengan langkah terburu-buru, memberitahukan kalau Pram tampak sedang kesakitan.'Ohokkk... ohokk...'
Untung saja Erik datang dengan cepat. Pram sedang di toilet, bersimpuh di depan kloset, tampak kepayahan memuntahkan isi perutnya. Erik mengurut tengkuk dan mengusap-ngusap punggungnya.
'Ohokkk...'
Pram mengernyitkan kening dalam. Kepalanya semakin berdenyut saat terguncang karena muntah.
Dia mengangkat kepala dengan mata terpejam. Erik menekan tombol flush lalu membantu Pram berdiri. Memapahnya ke dekat wastafel, memegangi tubuhnya, selagi dia berkumur dan membasuh wajah. Lalu Erik lanjut memapahnya keluar dari toliet. Dengan hati-hati, membantunya berbaring.
Kamar Pram gelap. Dia selalu meminta agar lampu tidak dinyalakan jika kepalanya sedang sakit, karena cahaya menyilaukan dari lampu akan menyakiti mata dan menambah sakit di kepalanya.
Erik duduk di tepian ranjang, mengusap rambut Pram yang basah karena terkena air. Dia hanya diam--tidak mengeluarkan suara; Pram sedang tidak memakai alat di telinganya.
Tangan Pram terangkat, memukul-mukul kepala diiringi erangan kesal.
"Minum lagi obatnya--" Erik menghela napas. Lupa. Pram tidak akan mendengar. Matanya juga sedang terpejam erat; dia tidak akan tahu kalau Erik berbicara.
Erik menahan tangan Pram. Membantu mengurangi sakit kepalanya dengan memijat-mijat, tapi tangan kiri Pram yang bebas, terangkat, menarik-narik rambutnya kesal. Erik meraihnya, menahan kedua tangan itu. Lalu menambah kekuatan dalam pijatannya, berharap itu cukup untuk meredakan sakit di kepala Pram, yang entah se-sakit apa, biasanya tidak sampai begini.
Di saat seperti ini, Erik merasa butuh orang lain, sekadar untuk menahan tangan Pram yang terus berusaha lepas dari genggaman Erik agar bisa memukul-mukul kepala dan menarik-narik rambutnya. Atau sekadar untuk membantu memberikan Pram minum, yang ternyata jika sedang begini, Erik tidak bisa melakukannya sendirian. Tapi, tidak ada orang lain. Alya masih dalam tahap awal penerimaan Pram; dia belum mau menyentuhnya, bahkan membicarakannya pun, Alya sepertinya belum bisa; belum pernah sekalipun Erik mendengar Alya menyebut Pram, setelah sekian bulan ini Pram tinggal bersama mereka.
Erik juga butuh orang lain jika ingin membawa Pram ke rumah sakit, tapi dia ragu kalau Jhona ataupun Dante mau membantu. Kedua putranya masih menolak keberadaan Pram. Waktu itu mereka membiarkan Erik membawa Pram hanya karena tidak ingin membangkang padanya.
"Pa... "
Pram bersuara dengan suara tercekat. Erik menyahutnya dengan genggaman tangan.
"Mau minum obat," pintanya lirih.
Erik menghentikan pijatan, mengambil obat pereda nyeri di atas nakas. Pram pasti sudah meminumnya tadi, tapi termuntahkan kembali.
Erik memberikan sebutir lalu membantu Pram meminumnya.
Makan malam Pram yang dibawakan Bibi belum tersentuh sama sekali. Erik juga tadi meninggalkan nasinya yang masih tersisa banyak, di meja makan. Dia meninggalkannya begitu saja saat mendengar kata' kesakitan' diucapkan Bibi dengan nada panik.
Erik lanjut memijat-mijat kepala Pram sampai anak itu tampak tertidur. Cahaya bulan dari luar, menyinari ke dalam kamar, memperlihatkan mata Pram yang sudah memejam tenang.
Erik melepaskan tangan Pram dalam genggamannya dan menghentikan pijatan. Dia mengelus rambut hitam legam itu lalu beranjak. Mengambil nampan makan malam yang tidak tersentuh. Sudah dingin. Pram juga sepertinya baru akan terbangun nanti pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...