PART 23

3.2K 488 26
                                    

Erik sepertinya kesal, tapi tidak berani mengomel. Dia hanya menghela napas saat besoknya menemukan Pram berbaring di sofa ruang keluarga. Pram baru saja terbangun saat melihat Erik mendekat.

"Habis dari mana, Pram? Pergi gitu aja. Handphonenya gak aktif lagi."

"Ke rumah temen," Pram menyahut singkat sembari berusaha bangun dari posisi berbaringnya. Nada bicaranya tidak menunjukkan ada rasa berdosa.

Erik menghela napas. "Kenapa tidur di sini?" bertanya dengan nada lembut. Rasa kesalnya hilang begitu dia melihat putranya pulang ke rumah dalam keadaan baik-baik saja.

"Kaki aku sakit kalo dipake naek tangga," sahut Pram agak kesal. Bukan kesal pada Erik. Tapi pada anak sulungnya itu! Yang semalam tidak ada belas kasihnya, menaiki tangga begitu saja, padahal Pram sudah meringis sejak bangun dari kursi teras depan. Ya, memang terlalu muluk-muluk sih kalau Pram berharap Jhona mau membantunya. Tidak diapa-apakan saja sudah bersyukur.

"Papa ambilin baju kamu di atas. Kamu mandi di kamar mandi bawah aja. Peralatan mandinya ada di dalem," kata Erik, lalu dia berbalik, kembali melangkah ke arah tangga.

Pram menurunkan kaki perlahan, mengernyit; baru terasa sakitnya. Erik malah pergi lagi, sama aja kayak Jhona.

-

Setelah selesai mandi dan berpakaian. Erik mengajak Pram sarapan. Ada Jhona juga. Mereka sarapan bertiga, dalam hening.

"Pa, berangkat dulu," Jhona pamit, salam pada Erik.

Kalau sedang begitu, Jhona terlihat normal, seperti orang baik.

Kini di meja makan, tinggal Pram dan Erik.

"Dante belom pulang?" Tiba-tiba saja Pram ingin bertanya.

Erik mendongak, menoleh padanya.

"Mama Alya minta Dante dirawat agak lama supaya penyembuhannya bisa dipantau dokter."

"Lukanya apa aja? Parah?"

"Tangannya patah sama luka lebam di wajah."

"Maaf, Pa." Dan tiba-tiba, Pram merasa dia harus meminta maaf.

Erik tersenyum, tampak senang mendengar permintaan maaf dari Pram. "Maaf juga, Papa udah keras sama kamu malemnya. Papa cuma gak mau kamu ada dalem bahaya."

Pram mengangguk. "Mm, makasih, Pa." Setidaknya, ada Erik yang mengakuinya.

-

Hari ini Pram ke rumah sakit dengan Erik.

Dokter Ari hanya menjelaskan tentang hasil pemeriksaannya kemarin dan memberikan obat hasil dari diskusi dengan dokter spesialis psikiatri. Tak ada pemeriksaan lebih, selain tanya-tanya dan sedikit gerutuan. Karena jadwal check-up Pram bukan sekarang.

Setelah dari Dokter Ari yang merupakan dokter spesialis saraf. Erik membawa Pram ke dokter spesialis ortopedi untuk memeriksa kakinya.

Patah tulangnya tidak parah, seperti yang dikatakan dokter yang menanganinya waktu itu, tapi tetap saja yang namanya patah tulang paling cepat penyembuhan dua bulan, gipsnya juga baru bisa dibuka setelah beberapa minggu.

-

Setelah selesai dengan urusan rumah sakit, Erik membawa Pram makan siang.

"Kamu belum cerita, kenapa bisa jatoh dari motor? Terus sekarang motornya di mana?"

Pram mendongak, mengalihkan pandang dari makanannya. Dia mengunyah lalu menelan. "Ya, jatoh, kesenggol mobil. Motornya di bengkel, temen yang bawa," sahutnya tanpa ragu.

Erik menghela napas. "Makanya, belajar bawa mobil. Mending kamu pake mobil. Udah dua kali lho jatoh dari motor. Mau Papa ajarin sekarang?"

Giliran Pram yang menghela napas. "Kaki aku kan lagi gini, Pa," katanya.

Erik terkekeh. "Oh, iya, nanti ya kalo udah sembuh," ucapnya.

Pram tak menyahut. Dia tidak tertarik memakai mobil, apalagi di sini jalanan seringnya macet.

--

Selama satu minggu full, Pram tidak keluar kamar, dia tetap di ranjangnya, hanya beranjak jika ingin ke kamar mandi. Makanannya selalu dibawakan asisten rumah tangga.

Setelah satu minggu lebih izin, hari ini dia berniat sekolah. Berangkat pagi sekali, sebelum orang rumah keluar kamar, karena Pram ingin pergi ke sekolah menggunakan Grabcar. Jika berangkat saat papanya sudah ada di ruang makan, Pram pasti disuruh berangkat bareng Jhona atau papa sendiri yang bersedia mengantar, tidak boleh! Bisa-bisa ada temannya yang melihat.

-

"Pangg!!!!" Miki bersemangat menghampiri Pram di kantin. "Belom ke kelas lo?" tanyanya sembari duduk di sebrang Pram dengan bibir yang tetap tersenyum lebar.

Pram baru selesai sarapan. "Tar deh lima menit lagi ke bel."

Miki mengangguk-angguk, lalu dia melirik ke kolong meja. "Kalo gue tendang, kaki lo masih sakit, gak?" tanyanya. Pertanyaan macam apa?!

"Jangan coba-coba, Mik!" Pram melotot. Soalnya Miki suka iseng.

Miki terkekeh. "Nggaklah, keknya masih sakit. Kemarin Deki mau jenguk lo, tapi gue kasih tahu tentang bokap lo yang galak."

"Bagus, Mik. Bokap gue marah-marah. Makanya, gue gak kasih tahu rumah gue di mana."

"Ternyata ada yang lebih serem dari nyokap gue," kata Miki.

Pram mengangguk. Menahan tawa. Tak sulit ternyata mengarang cerita pada temannya itu.

-

Pram memasuki kelas dengan Miki. Dia melirik sekilas Dante di bangku depan, sudah masuk ternyata, tangannya sama dengan kaki Pram; digips. Bedanya, jika tangan digendong menggunakan armsling, kalau kaki harus dibantu dengan kruk untuk membantu berjalan. Alya membalaskan derita anaknya dengan baik.

"Pang..." Alex tersenyum lebar, beranjak dari kursinya, duduk di tepi meja Pram. "Motor lo di rumah gue, udah dibenerin, cakep lagi dah."

"Makasih ya, Lex," ucap Pram. Dia kemarin mengirip biaya perbaikannya pada Alex yang berbaik hati membawa motornya ke bengkel.

"Kapan diambil?" tanya Alex.

"Lo pake dulu aja, gak pa-pa. Gue belum bisa pake."

Alex menggeleng. "Gak deh. Kalo lo gak bisa make, gue juga nggak. Ya, kali, gue pake, keenakan dong," katanya.

Pram terkekeh. "Santai kali, pake aja."

"Gue pake buat kode ke nyokap. Tiap hari gue elapin motor lo depan nyokap. Kali aja hati nyokap gue tersentuh, besok-besok beliin gue motor yang sama."

Miki tertawa. "Mimpi lo! Yang ada nyokap lo anggap lo gila!"

Pram pun terbahak. Teman bulenya memang tak pantang menyerah.

-

"Woi, Panggg!!!!"

Begitu memasuki gedung kosong, Pram disambut dengan senyuman lebar.

"Yakin bukan Jhona?" tanya Raka, begitu Pram sudah ikut duduk melingkar bersama mereka.

Pram menggeleng. "Kalo Jhona, dia mungkin udah ngehajar kita. Gak mungkin nabrak gue doang."

"Tuh, kan?! Si Dante gak kan ngenalin kita!" seru Demon dengan matanya yang melebar dan bibir yang kemudian menyeringai. Sejak awal percaya diri.

Pram hanya meliriknya sekilas. Biji mata lo! Ingin sekali menendang dengan kaki patahnya yang pakai gips.


--

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang