PART 45

4.3K 669 90
                                    

Saat jam istirahat, Pram tetap di dalam kelas. Mencari kesibukkan; menghitung jari tangannya sembari menempelkan pipi pada meja, berlatih menyimbangkan pulpen di atas penghapus, dan membuat burung bangau dari lembar kertas yang dia sobek dari bukunya. Lalu setelah bosan, dia kembali menempelkan pipi di atas meja, menutupi wajah dengan jaket dan memejamkan mata, tidur sampai bel masuk berbunyi.

Gabut. Sekolah sedang tidak menyenangkan untuknya.

-

Pram, pulang sekolah jangan maen dulu, langsung pulang. Kalopun maen jangan sampe malem.

Pesan dari Erik hanya dia baca. Pram mengendarai motornya, tujuannya adalah kedai kopi hutan pinus.

Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun. Pram mendengkus, menambah kecepatan, mencari tempat untuk meneduh. Padahal ini buka musim hujan, bisa-bisanya hujan turun dengan sederas ini tidak pada musimnya. Dia meneduh di depan supermarket. Menantikan hujan reda sambil duduk menelungkupkan kepala pada lipatan tangan di atas meja. Pram si paling nempel molor, tentu dengan mudahnya terjun ke alam mimpi, bunyi hujan menerjunkannya lebih dalam.

Pram terbangun karena klakson dari kendaraan yang ada di jalanan. Punggungnya menegak, matanya menyipit melirik sekitar. Hujan masih turun, tapi sekarang sudah menjadi sebatas gerimis. Hari mulai sore, dan perjalanan masih panjang jika memaksakan pergi ke tujuan awalnya. Pram beranjak, melangkah menghampiri motor.

Semesta seakan menentang niatnya, mungkin karena dia sudah melanggar perkataan orang tua.

Pram kembali mengendarai motor melewati jalur yang tadi. Dia berbalik arah, memilih pulang, tidak jadi menuju tujuan awalnya.

-

"Pram, habis dari mana? Kok ujan-ujanan."

Pram melanjutkan langkahnya tanpa peduli pada suara Alya yang sedang berada di ruang keluarga.

"Mandi air anget terus turun ke ruang makan. Nanti Tante bikinin yang anget-anget."

Pram mempercepat langkahnya. Membuang napas kasar. Dia muak dengan perubahan yang ada di rumah ini.

-

Sekarang ini Pram terbiasa mengunci pintu sebelum tidur. Pintunya berderit, terbuka. Yang akan membuka pintu kamarnya dengan kunci cadangan pasti Erik.

"Papa kira udah tidur."

Pram menoleh. Dia tidak tidur. Sejak tadi hanya menyandarkan kepala pada kusen jendela, menatap pemandangan luar.

"Jangan dinyalain," cegahnya saat Erik akan menekan saklar lampu.

Erik membawakan makan malam, yang kini sudah dia simpan di atas nakas.

"Papa gak ngerti kamu kenapa. Kalo emang lagi ada masalah cerita sama Papa, jangan dipendem sendiri."

"Apa gunanya cerita."

"Mungkin Papa bisa bantu."

Pram menoleh.

Tersinari cahaya seadanya yang menembus kaca jendela, Erik bisa melihat wajah Pram yang layu.

"Cerita sambil makan, ya?"

Pram turun.

Erik tersenyum melihatnya menurut.

Pram naik ke atas ranjangnya, duduk bersila. Dia menarik selimut, menyelimuti tubuh yang terasa dingin.

"Tadi katanya ujan-ujanan." Erik memegang kening Pram. "Anget dikit. Nanti abis makan minum obat demam."

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang