Dante membenci mereka. Mereka ...?
Demon dan Deki? Semua anggota geng Deki? Atau bandar penjual obat terlarang?
Pram masih mengusut tentang kemungkinan dendam pribadi Dante; siapa tepatnya 'mereka' yang dia maksud?
"Ishh... " Pram mendesis, menempelkan kepala ke atas meja dengan wajah menghadap samping. Dia tidak bisa berhenti menerka-nerka.
"Prameswada!"
Kepalanya langsung menegak kembali, dengan mata yang terbuka lebar. Pram lupa ini sedang jam pelajaran.
"Ngantuk kamu?!"
"Nggak, Bu, maaf."
"Tetap perhatikan ke depan!"
"Iya, Bu, maaf."
Pram melipat bibir. Menarik buku yang ada di ujung meja. Kena mulu perasaan.
-
Setelah menerima gelas plastik berisi es jeruk, Pram berbalik dari booth penjual aneka minuman itu, mengedarkan pandang untuk mencari bangku yang kosong. Dia berada di kantin karena Dante juga ada di sana. Walaupun rekaman video dan foto-foto dalam handphonenya sudah Pram hapus, tapi tetap saja... bodoh... Pram tidak terpikir; di jaman sekarang pasti ada saja orang yang bisa mengembalikan file atau dokumen yang telah hilang--sehilang-hilangnya, seperti Pram yang kemarin meminta Tami untuk membobol handphone Dante yang ternyata punya fitur keamanan sangat ketat, tapi akhirnya tetap berhasil juga dibobol--oleh sang ahli itu.
Dengan mulut yang mengulum sedotan, Pram mempercepat langkah. Dante terlihat beranjak, sendirian--tidak dengan teman-temannya. Jika sendiri, maka harus diikuti. Pram mengikuti dengan jarak langkah yang lumayan jauh di belakang.
Mulutnya melepas sedotan. Langsung berlari saat Dante terlihat bertemu dengan seseorang dan mereka kemudian melangkah beriringan ke arah gedung kosong.
Apa Dante bodoh? Kenapa mau diajak ke sana? Sarang musuhnya.
Sebisa mungkin Pram membuat langkahnya tidak bersuara. Dia berpindah dari pohon cemara satu ke pohon cemara lainnya, yang berjajar rapi di samping gedung kelas. Dante tampak berjalan santai. Orang di sampingnya seperti sedang menceritakan sesuatu.
Di pohon cemara terakhir, Pram hanya bisa memperhatikan. Tidak ada lagi pohon untuk bersembunyi.
Dante dan seorang siswa itu terus melangkah. Pram melihat sosok Alvi yang bertubuh proporsional keluar dari gedung kosong. Dia sepertinya ditugaskan untuk membawa Dante masuk. Alvi mengalungkan tangannya ke leher Dante--yang tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu, lalu menariknya masuk ke dalam ruangan.
Pram berlari, dengan gelas plastik berisi es jeruk yang ada di tangannya; masih banyak, kalo dibuang sayang.
Gedung kosong itu tidak bisa dikunci. Pram tinggal menerobos masuk.
Semua mata di dalam sana langsung tertuju padanya. Ada Deki juga--sesuai dengan apa yang dia katakan; jika berada di sekolah, Deki tidak akan menyapa Pram.
Dan ada Demon yang berdiri di hadapan Dante, dengan tangan yang tengah mencengkram kerah seragamnya. Sedangkan kedua tangan Dante dipegang Alvi.
Woah, sekarang mereka berani pada adik Jhona itu. Tapi Pram yakin, ini seratus persen rencana Demon, yang lain hanya 'mau tak mau' untuk mengikuti.
"Ngapain lo ke sini?!" Demon melotot, bertanya dengan sewot.
"Nyelametin lo pada dari Jhona," sahut Pram sembari berjalan ke dekat Demon dan Dante.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...