Tak lama setelah Alex dan Miki pulang, Pram meminta bantuan perawat untuk mengurus administrasinya dengan uang yang dia bawa, untung saja perawat di sana baik dan mereka sedang tidak sibuk. Pram beralasan: kedua orang tuanya sedang jauh dari rumah dan dua temannya tadi sedang ada urusan penting, tak ada lagi yang bisa dia pinta bantuan. Dengan baik hati, perawat di sana bersedia membantu, bahkan seorang pria--anggota keluarga di ranjang sampingnya, membantu Pram membelikan kruk di klinik rumah sakit. Sepasang kruk siku sudah terbeli. Kemudian seorang perawat mengajarinya untuk berjalan dengan kruk itu.
"Pulangnya mau saya anter, Mas?" Seorang pria yang membantunya, menawarkan.
"Gak usah, Mas, makasih." Pram tersenyum. Dia sudah lumayan bisa berjalan dengan kruk. Sebentar lagi akan pulang, tinggal menunggu obat untuk lukanya.
Setelah mendapat obat, Pram berpamitan dan mengucap terimakasih. Dengan ransel sekolah di punggung, dia melangkah keluar UGD. Motornya sudah diurus oleh Alex, mungkin sekarang ada di bengkel, atau di rumah temannya itu.
Pram memesan transportasi online. Dia tidak menghubungi Erik. Biarkan Erik mengurus Dante, yang sepertinya tak akan ada di rumah sakit ini. Dante pasti berada di rumah sakit yang lebih besar.
Pram melangkah diiringi kernyitan samar. Jangan kalian pikir: woah, hebat banget, Pang, patah tulang langsung bisa dibawa jalan... Sakit juga, woe! Gila aja! Terpaksa, nih!
Untung saja Pram sudah terbiasa dengan rasa sakit, tidak hanya hati, fisik pun dia sudah terlatih dari kecil.
Di perjalanan pulang, Pram terngiang lagi obrolan Alex dan Miki tentang mobil yang menabraknya. Saat kejadian, Pram tak sempat melihat mobil itu karena dia langsung terhempas, merasakan sakit lalu pingsan. Tapi itu bukan Jhona, Pram yakin.
Bibirnya kemudian tersenyum samar.
"Mau dibantu, Mas?" tawar pengemudi mobil saat sudah sampai di tujuan.
"Gak usah, makasih, Pak." Pram turun dengan sedikit susah payah. Selain kakinya yang patah, punggung tangan kirinya pun tergores aspal, diperban melingkari telapak tangan.
Rasanya Pram tak ingin pulang ke rumah ini, tapi dia tak punya tempat lain untuk pulang.
Dengan perlahan, Pram berjalan menggunakan kruk siku berwarna hitam itu, memasuki rumah. Mungkin mereka masih di rumah sakit. Pram tak tahu luka Dante seperti apa, dia belum melihatnya. Dan untuk kali ini, rasanya sama sekali tak peduli, padahal kemarin dia merasa sedikit khawatir.
Saat akan melewati ruang makan, Pram melihat Alya... oh, Alya pulang ke rumah ternyata... sedang duduk di kursi meja makan sembari memakan sesuatu.
Pram masuk ke ruang makan tanpa ragu.
Alya tak mendongak sedikit pun, tetap fokus pada... ah, eskrim dalam cup yang cukup besar. Alya makan eskrim ...? Untuk menenangkan pikiran, kah?
Pram terkekeh. "Bahkan Tante berani ngorbanin diri sendiri buat celakain saya," ungkapnya, menjeda untuk memberikan senyum menyeringai. "Gimana kalo tadi Tante ketangkep? Pelaku tabrak lari bisa dipenjara sampe 3 tahun, apalagi kalo ketahuan disengaja, hukumannya bisa tambah berat."
Alya mendongak, menatap tajam. "Ngomong apa kamu?!" marahnya.
Pram terkekeh lagi. "Harusnya Tante minjem mobil orang kalo mau nabrak saya. Atau tabrak dari depan, dari belakang pun bisa, Tante tadi nabraknya kayak ragu, kurang kenceng. Saya gak akan mati kalo gitu caranya, nanggung, cuma patah kaki, nih." Pram menunjukkan kakinya yang digips.
"Saya gak niat bikin kamu mati. Kamu udah celakain anak saya, kamu harus dapet balasannya."
Alya mengaku tanpa menyangkal. Pram tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...