Berkat buku note hitam yang ada di atas meja dengan tulisan kapital 'BACA' di sampulnya, Pram tidak jadi melupakan rencana pentingnya. Sepertinya dia harus lebih memperketat antisipasinya dalam hal ingatan. Gara-gara dua hari di rumah sakit dengan sakit kepala yang terus mendera kemarin, dia jadi hampir melupakan hal terpenting.
Pagi ini masih ada sensasi sakit di kepalanya, tapi tidak begitu mengganggu. Mata kirinya masih over sensitif terhadap cahaya, jadi Pram belum bisa melepas plesternya. Setelah mandi, dia mengganti plester penutup matanya itu dengan yang baru.
Pram mengambil dompet, kunci motor, obat pereda nyeri, dan beberapa buku. Semuanya sudah diingatkan oleh dirinya sendiri; ditulis pada selembar kertas, seperti biasa.
Pram keluar dari kamar, menuruni tangga dengan cepat. Sepertinya masih terlalu pagi. Di ruang makan belum ada siapa-siapa. Pram melewati ruang makan. Sarapan tidak penting. Yang penting dia sudah meminum obatnya.
Keluar dari rumah, Pram tidak melihat motor merahnya. Pram masuk lagi ke dalam rumah.
"Pa, motorku di mana?"
Kebetulan ada Erik yang baru turun dari lantai atas.
"Pram, mau sekolah?"
Terdengar suara Alya dari arah ruang makan. Oh, Alya juga sudah ada di ruang makan. Perempuan berusia kepala empat itu keluar dari ruang makan, menatap Erik yang sudah seperti akan melarang.
"Kalo mau sekolah, bareng sama Jhona sama Dante aja, ya? Jangan dulu berangkat sendiri," kata Alya.
"Gak usah, Tante. Berangkat sendiri aja, gak pa-pa. Tapi motorku gak ada di depan." Pram menunjuk ke arah pintu keluar.
"Motor kamu masih ada di sekolah, belum ada yang ambil. Hari ini berangkat bareng Jhona aja. Pulangnya juga. Nanti motor minta tolong temen kamu buat bawa aja," Erik bersuara.
Ah, iya. Pram baru ingat motornya kan ada di sekolah, belum diambil dari waktu itu. Dia sudah izin tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu.
"Aku naek grab aja."
"Bareng Jhona aja, Pram." Nada bicara Alya terdengar membujuk.
"Nggak, Tante, aku harus berangkat sekarang. Pa, berangkat dulu."
Tanpa menunggu jawaban Erik dan tanpa salaman, Pram melangkah cepat sebelum mendengar kalimat larangan lagi. Dia tidak mau satu mobil dengan Jhona.
-
Kakinya melangkah melewati gerbang sekolah. Mata-mata melirik ke arahnya. Gara-gara satu matanya yang diplester kali, katrok banget mereka, belum pernah apa lihat mata diplester. Pram melangkah acuh.
Langkahnya terhenti di Koridor. Pram baru masuk sekolah sekali semenjak resmi menjadi siswa kelas 3, itu pun saat itu dia mengikuti Dante menuju kelas.
Di mana kelasnya? Banyak sekali cabang koridor dan gedung kelas. Ngomong-ngomong, kelasnya juga... IPA 3 atau IPA 4, ya? Pram tidak pernah terlalu peduli dengan itu dan sekarang itu menjadi masalah. Akan aneh kalau dia memilih bertanya pada orang.
"Brodi... "
Sebuah tangan panjang merangkul bahu Pram. Lalu si pemilik tangan, memperlihatkan wajahnya yang tersenyum cerah. "Gue kangen banget rangkul lo gini."
Senyum Pram mengembang lebar. "Alex mana?" tanyanya menoleh ke belakang, mencari teman sepaket Miki.
"Ke kantin dulu. Lo ke mana aja? Gak masuk-masuk. Eh, gue denger lo sama si cepu diculik sama bos utamanya Bos Deki sama Demon, ya?"
Pram mengangguk.
"Serem banget. Lo luka parah? Mata lo itu kena? Sekarang mereka gimana? Aman, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...