Berlaga baik-baik saja, sepertinya itu yang harus selalu Pram lakukan agar Erik percaya kalau dia memang baik-baik saja. Tapi, entahlah, apa Pram akan sanggup; kepalanya masih saja sakit, dan dia harus tetap bangun dari tempat tidur, bersiap ke sekolah; bertingkah seolah tidak ada sakit yang sedang dia rasa.
Pram meminum jatah obatnya pagi itu, beserta obat pereda nyerinya. Setelah itu baru dia beranjak untuk mandi.
-
Ini masih pagi, kemungkinan di ruang makan baru ada Alya dan Erik, Dante juga mungkin. Jhona biasanya terakhir.
Pram melangkah menuju sebuah pintu. Dia belum pernah menghampiri pintu kamar itu sebelumnya. Berharap saja si pemilik kamar tidak bersikap menyebalkan, dan langsung membolehkan permintaannya tanpa banyak tanya.
Pintu kamar diketuk.
"BENTAR!" Terdengar jawaban nyaring dari dalam.
Lalu tak lama pintu terbuka.
"Gue kira Dante, ternyata lo, kaget banget. Ngapain?"
Jhona keluar dari kamar, menutup pintunya. Dia sudah siap dengan gaya ngampusnya yang selalu simple; jeans dan kaos yang dilapisi kemeja pendek, dengan tas ranselnya yang selalu disampirkan di bahu.
"Gue lagi males bawa motor," Pram mengawali maksud kedatangannya dengan kalimat itu.
"Oh, oke." Jhona mengangguk.
Kening Pram mengernyit. "Oke, apa?"
Jhona menatap. "Oke. Mau nebeng, kan? Ayok," katanya.
Bibi Pram terkatup. Semudah itu? Padahal dia sudah siap memberikan beberapa opsi alasan lainnya.
-
Sarapan berlangsung dengan damai. Jika Dante beranjak dan berpamitan, biasanya Pram akan mengikuti.
Erik melirik Pram yang tampak diam saja. "Kalian lagi berantem, ya?" tanyanya. Jelas sekali mencurigai.
"Nggak, Pa. Hari ini aku gak berangkat bareng Dante, mau ikut Jhona aja. Lagi males bawa motor."
Erik menoleh ke putra sulungnya, lalu mengangguk-anggukan kepala. "Papa emang lebih setuju kalo kamu berangkat bareng Jhona."
Jhona mengangguk. "Mm, lebih aman, kan, Pa?"
"Asal jangan ngebut."
Jhona mengacungkan jempol. Lalu melirik Pram sembari menarik sebelah sudut bibirnya.
-
Jhona menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang. Sengaja banget emang itu orang. Biasanya juga berhenti di sebrang gerbang.
"Balik gue jemput?"
"Nggak, gue naek grab aja."
"Buang-buang ongkos aja lo. Gue udah baik, nih, nawarin. Jam berapa? Gue on-time, kok, orangnya, tenang aja."
Pram melirik Jhona sebelum membuka pintu. "Gak usah. Makasih lo udah anter," katanya, kemudian membuka pintu dan keluar dari mobil. Melangkah memasuki gerbang.
"Pang!"
Pram berhenti, menoleh ke belakang.
Vanesh. Temannya itu berlari lalu nyengir lebar sembari menepuk pundak Pram begitu langkahnya sampai di tempat Pram berdiri.
"Jhona-Jhona itu yang itu, ya?" tanya Vanesh sambil melanjutkan berjalan dengan badan menghadap Pram. Wajahnya terlihat sangat antusias.
Pram melirik dengan kernyitan di dahi. "Paan?" Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Vanesh yang tidak jelas itu. Makin membuat kepalanya pusing saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...