Tiba di hari Ujian, Pram berpasrah diri untuk hari ini. Dia belajar seadanya; lima menit buka buku, kepalanya sudah terasa pusing. Otaknya menolak untuk diajak mikirin materi pelajaran.
"Pram, udah sarapan belum?"
Pram memundurkan langkahnya kembali. Melirik ke ruang makan. "Nanti aja di sekolah, Pa," sahutnya pada Erik yang baru saja memanggil dan bertanya.
"Sarapan di rumah aja, Pram. Nanti di sekolah gak keburu. Kalo perut kosong gimana mau ngerjain soal," kata Erik.
Pram terdiam; sejenak mencerna perkataan Erik, lalu melangkah ke dalam ruang makan. Dia sampai di sekolah memang--kemungkinan di waktu yang mepet dengan jam masuk. Nanti tak akan sempat pergi ke kantin. Tak sarapan: bahaya. Perut kosong-Otak kosong.
"Bi, tolong susu satu lagi," Alya menyerukan perintah pada Bibi yang ada di dapur.
Pram duduk di salah satu kursi, tangannya terulur mengambil selembar roti.
"Nasi aja, Pram."
Pram melirik semangkuk nasi goreng dan nasi putih, berjajar dengan beberapa piring berisi lauk dan sayur pendamping. "Nggak, Pa. Ini aja," sahutnya. Kalau makan nasi nanti kekenyangan, pasti mengantuk, yang jadinya gak bisa konsentrasi.
"Udah pada siap gak ujiannya?" tanya Alya sembari melirik Dante dan Pram.
"Siap dong, Ma," Dante menyahut tanpa ragu.
Pram hanya fokus mengunyah roti, tidak menyadari kalau pertanyaan Alya juga tertuju untuknya.
"Pram, capcipcup aja kalo soalnya susah," usul Erik.
Alya menyenggolnya. "Ih, kok gitu kasih tahunya. Jangan nyuruh anak-anak nurutin kebiasaan kamu."
"Daripada pusing," bela Erik.
"Kalian pasti bisa kok," Alya menyemangati dengan senyuman lebar penuh keyakinan.
"Ini susunya. Buat Mas Pram, ya?" Bibi datang meletakan susu di hadapan Pram.
Pram tersenyum. "Makasih, Bi."
"Kalian dianter Jhona aja, ya, gak usah pada bawa motor. Abang mau, kan, anterin?"
Jhona hanya mengangguk-angguk, mulutnya sedang mengunyah; penuh.
"Aku bawa motor aja, Tante. Kalo pake mobil suka macet, lama," tolak Pram. Dia meneguk susunya setelah selembar roti sudah habis dalam sekejap.
Pram berdiri. Terdiam sebelum meninggalkan kursi. Keadaannya sekarang sudah berubah. Sepertinya tidak sopan kalau langsung pergi. Ini kali pertama Pram sarapan di ruang makan setelah semuanya berubah jadi baik.
Dengan sedikit kaku, Pram mengulurkan tangannya pada Erik. Erik menaikkan alis, refleks melirik Alya. Alya tersenyum.
"Aku berangkat sekarang," Pram bersuara, bermaksud menyadarkan Erik yang hanya menatap seperti terkejut.
"Oh, iya." Erik lalu memberikan tangannya.
Pram mengadukan ke dahinya sekilas. Kemudian beralih pada Alya.
Alya tersenyum, memberikan tangannya.
"Mama do'ain ujiannya lancar," ucapnya dengan senyuman lembut.Pram tersenyum sedikit. "Makasih, Tante."
Desahan hampir saja keluar saat mendengar bagaimana Alya memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mama' kepada Pram.
Jhona mengulurkan tangan ke arah Pram. Pram hanya mendelik lalu melengos.
"Berangkat ya, Pa, Tan," pamitnya, tak mempedulikan Jhona yang kembali menarik tangannya dengan kekehan.
"Eh, obatnya udah diminum belum?" Erik bertanya saat Pram sudah ada di ambang jalan keluar dari ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
Ficção Geral**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...