Keesokan paginya, Dante membuka mata dengan perasaan tenang. Berkat balasan pesan dari Jhona semalam, yang mengatakan Pram baik-baik saja, dia jadi tak lagi dibayangi kegelisahan.Harum masakan tercium begitu kakinya menapak lantai bawah.
"Dek, Mama minta tolong nanti anterin sarapan ke rumah sakit, ya. Tadinya Mama mau ke sana, tapi kata Papa gak usah, Pram udah gak pa-pa, kok, katanya. Jadi, yaudah, Mama minta tolong ke kamu aja, ya?"
Dante mengangguk, duduk di kursi makan dengan segelas air yang baru saja dia ambil.
"Aku mandi dulu," ucapnya.
"Iya. Kamu mau sarapan bareng di rumah sakit atau mau sarapan di rumah?" tanya Alya.
"Di rumah aja, deh, Ma. Laper aku."
"Yaudah, Mama siapin."
Alya yang sedang menyiapkan bekal--memasukkan masakan ke dalam kotak makan, beralih sejenak dari kegiatan, dia melangkah mengambilkan piring dan menyiapkan sarapan untuk putranya.
-
Tak butuh waktu lama, dengan kecepatan motor di atas rata-rata, Dante sampai di rumah sakit tempat Pram berada. Dia masuk ke dalam lift menuju ruang rawat Pram.
"Pram, kamu itu kenapa? Jangan gini terus. Apa salahnya ikutin apa kata Dokter Ari."
Pintu ruang rawat yang menjadi tujuannya tampak terbuka. Dante melangkah ke ambang pintu. Di ruangan itu, selain papa dan abangnya, ada dokter dan seorang perawat juga.
"Maaf, Dok. Lagi-lagi begini."
"Gak pa-pa, Pak. Nanti ke ruangan saya aja. Kita lakukan pemeriksaannya kalo Pram udah mau."
"Iya, maaf, ya, Dok. Nanti saya ajak ngomong dulu."
"Pram, tolong kerja samanya, ya. Jangan nyakitin diri kamu sendiri. Santai aja. Kalau ada yang gak kamu suka dari pemeriksaannya, kami akan melakukan dengan lebih baik kali ini supaya kamu nyaman. Yasudah, Pak Erik, kami permisi dulu."
Dante memberikan senyum saat seorang dokter dan perawat itu berjalan melewatinya.
Tampaknya suasana ruangan sedang sedikit tidak enak.
Jhona berdiri di dekat sofa dengan sorot mata geram memandang Pram.
Dante melangkah masuk, melirik Pram, yang tadi tak dapat dia lihat; saat dia berdiri di ambang pintu. Pram duduk di ranjangnya dengan tampak waspada. Sebelah tangannya memegang tangan yang diinfus. Matanya menatap siaga ke arah Erik dan Jhona.
"Pa, ini sarapan dari Mama. Papa sama Bang Jhona sarapan dulu aja di luar ruangan. Biar aku di sini nungguin Pram."
Dante menyodorkan tas bekal yang dia bawa pada Jhona.
Jhona mengambilnya, mendecak, bukan pada Dante atau sarapan yang telah Alya siapkan. Decakannya tertuju pada situasi pagi yang tidak menyenangkan itu, yang diakibatkan oleh si pasien yang keras kepala.
"Ayok, Pa. Biarin dia tenang dulu aja. Dek, lo beneran mau di ruangan? Ikut sarapan aja, ayok," ajak Jhona pada Dante. Dia hanya khawatir adiknya akan mendapat amukan dari Pram yang lagi-lagi emosinya sedang tidak terkontrol.
Dante menggeleng. "Aku udah sarapan. Nunggu di ruangan aja, gak pa-pa," katanya.
"Yaudah, hati-hati, ngigit." Jhona melirik Pram. "Pa, ayok, kita sarapan dulu," ajaknya kemudian pada Erik yang masih memandang Pram dengan sorot putus asa.
Erik lalu melirik Jhona, menganggukkan kepala. "Titip ya, Dek," ucapnya pada Dante.
Dante mengangguk. "Iya, Pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...