Sekarang Dante sadar, orang yang hanya bisa berbaring dan menatap itu, memang beneran Pram; saudara tirinya yang mempunyai sikap menyebalkan dan lebih senang dipanggil Pang daripada Pram karena menurutnya panggilan itu lebih keren dan dia suka.
Semakin ke sini, sosok yang belum bisa bertingkah banyak itu semakin menyadarkan Dante, walaupun hanya bisa berbaring dan menatap, dengan memori otaknya yang te-reset, seperti handphone yang baru saja direset--tidak ada satu pun file yang tersisa dalam penyimpanannya--tapi ternyata Dante masih bisa merasakan hawa-hawa dendam yang tertuju padanya. Sepertinya ada jejak tak kasat mata yang tersisa dalam memori otak Pram tentang dendamnya pada Dante dan Jhona, sebentar, sebelum kalian mencela, tahan dulu... ini bukan pemikiran 'su'udzon' yang tanpa landasan.
Berikut ini adalah buktinya: kejadian yang terjadi di hari ini, yang menyadarkan Dante kalau sosok Pram--saudara tirinya, ternyata masih ada di dalam tubuh yang otaknya sudah te-reset itu. Awalnya Dante berpikiran: mungkin secara kasar bisa disimpulkan: 'Pram sudah tidak ada', tapi ternyata... ada, yang hanya bisa berbaring itu masih dia.
"Bu, ada tamu di luar."
"Siapa, Bi?"
"Gak tahu, Bu."
"Oh iya, bentar, Bi." Alya melirik Pram, lalu melirik kedua putranya yang dua-duanya ada di sana dan sedang duduk di sofa. "Dek, Mama minta tolong gantiin nyuapin sebentar, boleh, gak? Mama mau nemuin tamu dulu, kayaknya pihak asuransi. Soalnya Pram suka gak mau buka mulut lagi kalo makannya dijeda. Dikit lagi, kok, ini."
"Biar aku aja, Ma." Jhona bangkit dengan semangat.
Alya yang duduk di tepi ranjang, mendongak, menoleh pada si sulung.
"Maaf, Bang, Mama gak percaya sama kamu kalo soal yang begini," jujur Alya dengan nada suaranya yang dibuat halus, agar penolakannya tidak terdengar menyakitkan.
Dante menahan tawa, dia berdiri, melewati Jhona yang mematung, shock, walaupun Alya berbicara dengan nada halus tapi tetap saja dia serasa sedang dipandang rendah oleh orang tua sendiri.
Alya memberikan mangkuk di tangannya kepada Dante lalu dia melangkah menuju pintu, melewati Jhona tanpa permisi.
Dante melirik abangnya, tawanya menyembur dengan nyaring.
"Muka lo bisa gak, Bang, jangan dibikin se-shock itu," serunya di sela tawa.
"Kenapa Mama sampe gak percaya sama gue? Apa salah gue, Dek?" tanya Jhona sembari melirik Dante dengan matanya yang jadi melebar.
Dante mengedikan bahu, rasanya puas sekali dia menertawakan ekspresi Jhona, tapi dia harus menghentikan tawanya karena ingat amanah dari Alya. Dante kemudian melirik Pram yang sedang menatap gorden transparan yang melambai-lambai pelan karena angin sepoi-sepoi yang masuk lewat kaca jendela yang terbuka.
Menu makan siang Pram kali ini adalah nasi yang diguyur sup ikan salmon. Tersisa setengah mangkuk. Dante menyendoknya, menyodorkan ke depan mulut Pram.
"Pang," Dante memanggil. Perhatian Pram sepenuhnya tertuju pada jendela, dia tidak menghiraukan Dante.
"Pang, aaa... "
Dante membuka mulutnya, bersuara lebih nyaring. Mulut Pram tampak terkatup rapat.
Jhona naik ke atas ranjang, merangkak mendekat pada Pram yang sedang dalam posisi berbaring setengah duduk--ditopang bantal-bantal--di sisi ranjang.
"Pang, aaa..."
Dante lebih memajukan sendok sampai menyentuh bibir Pram, tapi bibir itu tetap terkatup rapat.
"Pang, buka mulut lo. Aaa... "
Sendok sudah sangat rapat dengan mulut Pram. Namun, mulut itu seakan terkunci, tidak bergerak sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...