Saat Erik tidak pergi ke kantor; libur ataupun meliburkan diri, di pagi hari-nya dia kadang mengajukan diri untuk memandikan Pram. Aris hanya akan membantu menurunkan Pram ke dalam bath up dan mengangkatnya kembali setelah selesai. Ya, baru yang ketiga kali ini, sih, Erik mencoba melakukannya. Awalnya dicontohkan oleh Aris, tapi sekarang dia sudah bisa melakukannya sendiri.
Bath up di kamar mandi ini pun, dasarnya sudah dilapis alas anti slip. Erik juga sudah membelikan sandaran empuk dan bantalan leher khusus untuk bath up. Pokoknya dia akan selalu memastikan agar Pram selalu merasa nyaman di saat apa pun itu.
"Nih."
Erik menyodorkan telapak tangannya, yang di atasnya ada sikat gigi yang sudah diberi pasta gigi.
Kata Aris: sekarang Pram sudah mengerti tentang menggosok gigi.
Tangan itu terangkat perlahan, berusaha mengambil sikat gigi di telapak tangan Erik yang terbuka.
Mulutnya sudah terbuka duluan, padahal sikat gigi itu belum sampai ke mulutnya.
Erik terkekeh. Dengan Pram mengerti kegiatan rutinitas ini saja, dia sudah merasa senang. Untuk melakukannya, Pram tetap masih membutuhkan bantuan, karena tangannya belum terlalu kuat untuk menggenggam barang dalam waktu yang sedikit lama, dan dia juga belum bisa tepat dalam mengarahkan benda.
Selesai dengan menggosok gigi, Erik menggosok tubuh Pram dengan sabun.
"Bangun." Erik mengulurkan tangan.
Tangan Pram memanjang untuk meraih tangan Erik yang terulur. Erik menggapai tangan itu, sedikit menariknya agar Pram mengangkat punggungnya dari sandaran. Erik lalu menggosok punggung itu dengan spons yang berbusa sabun, yang memiliki wangi buah segar.
Erik menelan ludah. Rasa sesak tiba-tiba menjalar dari dada, naik ke ujung kerongkongan. Air matanya lalu menetes. Ya, Erik memang merasa bersalah tidak pernah memandikan Pram saat dia masih kecil, tapi jika untuk menebus kesalahannya adalah dengan cara seperti ini... ini terlalu kejam.
-
Hari ini ada jadwal terapi. Ada beberapa jenis terapi yang Pram ikuti dan setiap jenis terapi, terapis-nya berbeda-beda. Hari ini adalah jadwalnya terapi wicara. Yang menjadi terapisnya yaitu seorang wanita, mungkin se-usia Aris. Dia yang akan mengajarkan Pram berbicara, mengenal nama benda-benda, ya, tapi untuk saat ini lebih ke-mengajaknya mengobrol dulu, sih, karena sejauh ini Pram belum juga terlihat membuka mulutnya untuk mencoba berkata sesuatu.
Terapi hari ini dilakukan di ruang tamu. Erik sejak terapi dimulai, dia berada di sana, duduk melihat Pram yang hanya akan menatap terapisnya saat diajak bicara, itu pun sudah bagus dia mau memberi perhatian, karena biasanya kadang dia mengacuhkan.
"Ini sendok. Pram, kalau makan pake Sen-dok," terang terapis itu sembari mengacungkan sebuah kartu yang bergambar sendok dan menambah gerakkan untuk menerangkannya.
Alya muncul dari dalam, melangkah menuju arah pintu keluar; lewat begitu saja. Lalu tak lama, dia kembali muncul.
"Abis apa, Al?" tanya Erik.
"Taneman di depan tanahnya udah kering banget, mau disiram, ah. Kemaren aku beli obatnya yang baru biar lebih pada seger," sahut Alya sembari lewat. Dia kembali masuk ke dalam tanpa melirik ke arah lain.
"Panggil Ma-Ma."
Erik menoleh. Baru dia sadari, Pram sedang berusaha untuk melirik Alya. Bahkan, sampai memutar kepalanya yang bersandar itu. Padahal Alya sudah masuk ke dalam, tidak akan bisa terlihat lagi dari tempatnya.
"Ma-Ma."
Terapisnya itu kembali bersuara, tapi Pram tidak menghiraukan; dia tetap berusaha memutar pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...