Akibat dari meninggalkan rumah tanpa izin, kunci motor Pram disita selama satu minggu. Keesokan harinya dia berangkat ke sekolah bersama Dante. Hari ini dan untuk satu minggu ke depan, Erik hanya memperbolehkan Pram berangkat dan pulang sekolah bersama Dante atau Jhona, jadi dia tidak akan bisa keluyuran sepulang sekolah.
"Lo bisa pulang sama Bang Jhona. Gue telepon minta jemput, dia pasti dateng."
"Nggak usah, gue balik ngikut lo aja."
"Tapi gue beresnya jam 4."
Pram mengedikan bahu, melangkah bersama Dante menuju perpustakaan.
Dante masuk ke dalam ruangan; tempatnya mengikuti pelajaran tambahan, sementara Pram melangkah ke meja baca yang lesehan. Meleparkan tas ke lantai yang berlapis karpet itu kemudian membaringkan diri di sana.
Tepat jam 4, alarm di handphonenya menyala. Pram membuka mata, melihat handphone lalu mematikan alarm.
Dia mengumpulkan nyawa sejenak sebelum beranjak. Pram berdiri, mengambil tas lalu berjalan keluar dari area baca lesehan.
Lewat 5 menit, pintu ruangan berdinding kaca itu baru terbuka. Ada beberapa orang yang keluar. Dan yang Pram kenal hanya Dante.
"Gue kek familiar sama muka tuh orang. Nyebelin banget mukanya." Pram mengomentari orang yang baru saja berjalan melewatinya, yang melirik Pram dengan ujung mata datarnya.
"Itu Endra, kita sekelas," kata Dante. Cukup lelah mengingatkan Pram akan nama-nama teman sekelas mereka. Sudah menjadi fakta yang tersebar luas di kalangan anak kelas; kalau Pram tidak begitu peduli pada siapa saja teman sekelasnya.
"Oh, pantes."
Dante melirik Pram yang acuh. Untung saja sekarang ada dia yang bisa menyelamatkan Pram dari tugas kelompok. Jika ada tugas kelompok, sekarang ini, Dante mengemban dua tugas; menyelesaikan tugas bagiannya dan menjadi joki sukarela untuk tugas bagian Pram. Maka dari itu, sekarang anak-anak kelas tidak terlalu misuh-misuh kalau harus memasukkan Pram ke dalam kelompok, ada Dante yang sepaket, dia yang bertanggung jawab penuh.
*FYI: Lupa sama temen sekelas itu bukan bagian dari dampak penyakitnya. Pram memang begitu, yang dia kenal di kelas cuma Miki, Alex, Dante, yang laen dilirik aja jarang. Prinsip Pram: yang mau temenan, ayok. Yang nggak, gue gak peduli.
"Oh iya, anterin gue dulu."
"Ke mana?"
"Gak usah nanya. Pokoknya anterin aja."
Dante melirik orang yang berjalan di sampingnya itu dengan bibir terlipat. Untung dia legowo.
-
-
"Berenti, dah, berenti."
Dante menghentikan motor.
"Keknya salah belokan," kata Pram.
Dante menoleh ke belakang, menahan napas, juga menahan dengkusan.
"Mana gue liat mapnya." Dante menengadahkan tangan ke belakang.
Pram memberikan handphone yang sedang menunjukkan jalan menuju tempat yang akan ditujunya. Dia masih ingat tempatnya, tapi sedikit lupa jalannya.
Dante mendecak. "Gue aja yang di belakang liat map, lo yang bawa motor."
Dante turun. Pram malah menatapnya dengan tatapan penuh tanya--mungkin mempertanyakan Dante yang turun dari motor.
Orang itu pasti tidak mendengar. Dante menarik tangan Pram, meletakannya pada stang motor, lalu mengacungkan handphone.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...