PART 22

3.5K 515 29
                                    

Masih terlalu pagi untuk bangun, langit di luar juga masih gelap. Pram mencuci muka, menggosok gigi, berganti pakaian sebisa mungkin; celana abunya hanya diganti dengan kolor pendek, yang termudah. Terakhir melapisi kaos pendeknya dengan jaket, lalu dia bergegas keluar kamar. Rumah masih sepi dan dingin; hawa dinginnya subuh. Pram menuruni tangga perlahan dengan kruknya. Butuh waktu agak lama untuk sampai ke lantai bawah.

Bahkan Bibi saja sepertinya belum bangun, lantai bawah masih sepi. Pram menuju pintu rumah, membuka kuncinya.

Handphonenya bergetar.

"Gue udah masuk perumahan."

"Gue nungguin di depan rumah."

Sebuah mobil nampak melaju sangat pelan, memasuki belokkan menuju rumahnya. Pram melambaikan sebelah tangan.

Segera masuk setelah mobil itu berhenti di hadapannya. Orang di dalam mobil membukakan pintu.

"Lah, lo berdua ikut?"

Di dalam mobil ada dua temannya yang lain ternyata; Ewin dan Odi, keduanya menampilkan senyuman lebar. Padahal Pram hanya menghubungi Yoyo. Dasar sepaket.

"Pagi banget dah, Pang. Kita sampe berangkat jam tiga dari rumah," celoteh Odi.

"Biar gak ketahuan bokap."

"Kenapa, sih? Itu kaki lo juga kenapa? Keserempet lagi? Hobi banget," Ewin pun bersuara.

"Jatoh. Cepetan jalan."

Yoyo memutar kemudi.

"Lo semua bolos?"

"Ya, iyalah."

"Gue mau tidur lagi, masih ngantuk. Lo semua jangan berisik, ya."

"Lah, Yang Mulia, M'Lord. Udah lama gak ketemu, cipika-cipiki gitu, cerita tentang keluarga lo kek."

"Ntar, gue ngantuk." Pram memejamkan mata, dia beneran masih mengantuk.

Ketiga temannya menghela napas. Mereka berkendara hampir dua jam, demi menjemput orang ini. Kalau tak teringat tentang kisah hidupnya yang menyedihkan--yang membuat empati, mereka ogah berkendara jauh di waktu sangat dini begini.

-

"Pang, sarapan dulu, yok. Bentar lagi nyampe."

Pram membuka mata. Mobil berhenti di parkiran sebuah kedai bubur ayam. Yoyo dan Odi sudah turun. Pram turun dibantu Ewin.

"Lo lagi gini, diem aja kek di rumah. Nyokap lo kan bisa ditemuin nanti."

Pram melirik Yoyo. "Kemaren gue udah dateng ke rumah tante gue, gak dibukain pintu."

Ewin menghela napas. "Udah gue duga, gak akan gampang."

"Terus sekarang, lo tetep mau ke sana?" Odi bertanya.

"Gue harus dapet alesan kenapa dia buang gue."

"Lo gak dibuang, Pang. Lo masih diasuh sama nenek lo, keluarga nyokap lo," ucap Yoyo, tak bosan berkata seperti itu saat Pram mulai merasa dirinya dibuang.

"Kalo gak ada uang dari bokap gue. Mereka udah buang gue dari lama, Yo." Pram menggulirkan bola mata dan melirik Yoyo dengan ujung matanya. Yoyo tak juga mengerti.

"Lah, bukannya alasannya udah jelas?"

Yoyo, Ewin, termasuk Pram, langsung menatap Odi yang kadang mulutnya terlalu gacor, mengingatkan Pram pada Miki.

Odi melirik mereka bertiga secara bergantian. "Ya, kan?" katanya. Dia pasti tak merasa ucapannya sedikit terlalu nendang.

Pram menghela napas. "Iya sih, udah jelas sih, Di. Tapi, gue tetep mau denger dari bibir nyokap langsung. 17 tahun gue idup, belom pernah dia nemuin gue. Giliran gue pergi, dia langsung balik. Apa salah gue?"

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang