Jangan keluyuran kayak kemarin. Jangan keluar rumah kalo gak penting-penting banget. Kalo mau jajan delivery aja, nanti Papa isi saldo **pay kamu.
Di atas nampan sarapan, Pram menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat-kalimat itu. Padahal bisa dikirim lewat chat atau bangunkan saja Pram yang masih tidur. Erik malah pakai cara lama.
Pram mengambil sarapannya; semangkuk bubur yang masih hangat. Pram kira kemarin Erik akan memarahinya, tapi ternyata tidak. Atau sebenarnya dia ingin marah tapi takut Pram pundung, ya sepertinya begitu. Sepulang dari kantor di sore hari kemarin, Erik langsung masuk ke dalam kamar Pram, hanya menghela napas, mengecek suhu tubuh Pram lalu bertanya ke mana Pram pergi pagi tadi; yang tidak Pram jawab. Setelah itu Erik hanya memperingatkan Pram untuk tidak banyak pikiran karena kata Dokter Ari: sakit di kepalanya yang terasa parah itu dikarenakan stress, terlalu banyak pikiran yang menekan.
Pram beranjak dengan mangkuk di tangannya, berpindah ke meja belajar. Menyuap buburnya sembari membuka note berwarna hitam yang tergeletak di atas meja. Dia mengambil pulpen. Menulis kejadian-kejadian yang telah terlewati, yang tidak sesuai rencana dan membuatnya merasa marah karena kecewa; kecewa pada dirinya sendiri yang selalu merencanakan sesuatu dan selalu berakhir pada kegagalan, dan kecewa pada keadaan, juga pada semuanya. Pram menyadari emosinya yang selalu berlebihan akhir-akhir ini, entah, dia hanya sedang merasa kacau.
-
Tok... tok...
"Buka aja."
Pram melirik Alya. Wajah itu yang kini selalu tampak tersenyum masih terlihat asing di matanya. Sampai di waktu malam hari tadi, mamanya Jhona dan Dante itu beberapa kali masuk ke kamar Pram untuk memastikan demamnya sudah turun.
Pram baru selesai mandi dan baru saja selesai berpakaian.
Alya berdiri canggung di ambang pintu. "Tante lagi bikin kue kering. Bibi lagi gak ada... mm, kamu mau bantu, gak?" tanyanya diakhiri dengan senyuman tipis.
Pram terdiam. Menatap.
"Eh, tapi--"
"Kalo Tante emang butuh bantuan... ya, ayok," kata Pram cepat, sebelum Alya merasa tak enak hati.
Senyum Alya kemudian mengembang, terlihat lebih lepas dari sebelumnya. "Tante tunggu di dapur, ya," ucapnya.
Pram mengangguk.
-
Dapur hening. Alya sedang menunggu di depan oven dan Pram mencetak adonan di meja makan, sesuai dengan arahan Alya.
"Kamu suka makanan manis?" tanya Alya. Membuka obrolan setelah menghening cukup lama.
Pram mengangguk. "Suka," sahutnya singkat.
Alya melangkah ke meja makan membawa satu loyang kue kering yang sudah matang.
"Cobain."
Pram mengangkat kepala yang menunduk. Tangan Alya terulur ke depan mulutnya dengan sepotong kue kering yang sudah didiamkan sampai dingin.
Pram mengambilnya dari tangan Alya, memakannya sendiri.
Alya tersenyum tipis.
"Enak, gak?"
Pram mengangguk. "Enak," sahutnya jujur.
Alya tersenyum puas lalu kembali melangkah ke dekat oven.
Beberapa lama berlalu lagi dengan keheningan. Hanya sesekali diisi suara Alya, sementara Pram tetap bungkam; menyelesaikan tugasnya dengan serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...