Sepanjang jalan, handphonenya terus bergetar. Pram baru bisa menerima panggilan saat motor sudah berhenti di depan rumah."Apaan, Yo?" tanyanya pada si penelepon, temannya di sekolah dulu.
"Pang, gue tadi liat tante lo--"
Pram menghela napas. "Gak penting banget sih, Yo. Mending gue denger lo ngoceh tentang kegiatan lo selama ini ngapain aja? Udah lama kita gak ngobrol."
"Belum beres ngomong gue, Pang. Gue liat tante lo sama ibu-ibu, ya gak ibu-ibu banget sih, masih cukup muda lah."
"Mm, terus... " Pram memasuki rumah. Sepertinya orang rumah baru habis makan malam, ada asisten rumah tangga yang sedang membereskan makanan di ruang makan.
"Mas Pram."
Pram menoleh, asisten rumah tangga itu memanggilnya.
"Udah makan belum? Makan dulu. Kata Bapak, kalo liat Mas Pram pulang, suruh makan."
"Papa ke mana?"
"Ada, Mas, di atas."
"Oh, aku udah makan, Bi. Makasih."
Pram melanjutkan langkah. Mengangkat handphonenya, kembali menempelkan ke telinga.
"Apa, Yo? Sorry, Bibi yang kerja di rumah manggil tadi."
"Ibu-ibunya mirip lo, Pang. Asli dah."
"Ah, lo kangen gue aja kali, jadi semua keliatan mirip sama gue."
"Beneran, Pang!! Gue gak lagi becanda. Ewin aja liat, dia setuju kalo ibu-ibu yang sama tante lo itu mirip banget sama lo. Lo punya foto nyokap lo?"
"Nggak, tapi gue sering liat, ada di rumah nenek gue dulu."
"Cantik, kan?"
"Iya, nyokap gue cantik. Dan... ya, gue cowok, tapi mirip dia."
"Fix, Pang. Nyokap lo."
"Mm... ya, mungkin, kayaknya, tapi bisa aja orang lain sih, Yo. Kan, di dunia ini katanya ada tujuh orang yang mirip."
Pram menarik sudut bibir. Dia menyangkal untuk dirinya sendiri. Pram tidak pernah menangis lagi, terakhir kali menangis mungkin saat SD. Sejak saat itu sekalipun sering terluka, dia tak pernah menangis. Dan, Pram tak ingin menangis.
"Dah ya, Yo. Tar gue telepon lagi, gue baru balik, mau mandi dulu."
Telepon dimatikan.
Kalau memang itu mamanya. Oh, 17 tahun Pram hidup di rumah yang sama dengan nenek dan omnya. Tak pernah sekalipun... dia melihat Vina pulang.
Pram menengadah, melebarkan mata, mengedip-ngedip agar cikal bakal air matanya kembali masuk ke dalam.
--
Pagi ini, Pram masuk ke ruang makan, duduk di kursinya, membalikan piring datar yang menangkup di hadapan. Mengambil selembar roti tawar, meletakkannya di atas piring, lalu menambahkan telur mata sapi ke atasnya dan daging asap iris yang sudah dipanggang, kemudian menambahkan sedikit saus, terakhir Pram mengambil selembar roti lagi untuk menutupnya.
Alya dan dua anaknya pasti memandang aneh dengan raut risih. Pram tak peduli, dia harus makan. Tadi dia tak sempat makan roti di kamarnya.
"Kenapa pake baju sekolah? Hari ini ke rumah sakit, Pram. Kan ada janji sama Dokter Ari."
Erik senang saat melihat Pram ikut sarapan, tapi dia harus menegur anak itu yang memakai seragam, padahal hari ini adalah 'lusa' yang dijanjikan kemarin dengan dokternya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...