PART 69

3.9K 598 113
                                    

Dante pulang ke rumah setelah mengambil motor di toko sebrang rumah Deki dan tas di sekolah; tas miliknya juga milik Pram. Besoknya pasti dia mendapat panggilan dari wali kelas, tapi yasudahlah, itu resiko, bahkan Dante tidak peduli dengan itu. Yang jadi pikirkannya sekarang adalah maksud dari tatapan Pram dan remasan tangannya tadi.

Sepanjang perjalanan Dante memikirkan itu.

Tapi bisa saja itu tidak bermaksud apa-apa; hanya lirikan dan remasan tangan, yang tidak disengaja. Ya, jika dipikir-pikir memang lumrah; Pram yang hendak turun dari ranjang, memegang tangan Dante dan secara tidak sengaja meliriknya. Masuk akal juga jika begitu. Tapi yang membuatnya jadi masalah adalah pikiran Dante yang terus terpikir tentang janji konyol itu. Kegelisahan menggiring pemikirannya ke hal yang tidak-tidak.

Sebelum membuka pintu rumah, Dante mengembuskan napas keras; membuang semua pemikiran yang sudah merambat kejauhan. Berharap saja Pram tidak kenapa-napa. Kejadian di toko tadi sangat membuat Dante panik. Kata dokter, membeku dengan tatapan kosong itu adalah gejala kejang ringan.

"Dek, gimana, sih, kejadiannya? Kenapa Pram bisa pingsan lagi?" Alya langsung berdiri dari sofa ruang keluarga begitu melihat sosok Dante dan langsung bertanya dengan wajah cemas.

Yang Erik dan Alya tahu--tidak termasuk Jhona karena Jhona belum tahu apa-apa, pesan Dante pada Jhona yang tadi siang belum dibaca sampai sekarang--Pram pingsan di sekolah. Mereka tidak tahu perihal Dante dan Pram yang pergi dari sekolah; membolos pelajaran.

"Tiba-tiba pingsan, Ma. Kayaknya Pram udah ngerasa pusing dari rumah, cuma dia sembunyiin itu."

Alya menghela napas.

"Untungnya sekarang Pram gak nolak pemeriksaan. Udah beberapa kali dia pingsan tiba-tiba gitu, Mama khawatir kenapa-napa."

"Semoga aja gak kenapa-napa, Ma," kata Dante. "Yaudah, aku ke kamar dulu, ya, Ma," pamitnya kemudian.

Alya mengangguk.

Dante melanjutkan langkah.

Sampai di lantai atas, dia menyimpan tas ransel Pram ke kamar Pram terlebih dahulu. Baru kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri.

-

-

Dante mencoba belajar, tapi dia tidak bisa memfokuskan pikiran pada pelajaran. Mencoba tidur, belum mengantuk sedikit pun.

Akhirnya dia memutuskan untuk keluar kamar, sepertinya butuh menghirup udara segar. Dan kebetulan salah satu pintu kamar yang ada di sebrang kamarnya terbuka, pemiliknya keluar.

"Belom tidur, Dek?"

Jhona sudah pulang ternyata. Saat makan malam tadi, abangnya itu belum pulang.

"Belom, Bang," sahut Dante, "mau ke mana, Bang?" tanyanya.

"Nyebat di luar."

"Gue ikut, ya."

"Tapi gak ada rokok buat lo."

"Iya. Lagian, gue gak suka."

Jhona tersenyum lalu melangkah, merangkul bahu Dante.

"Bagus," katanya, tampak senang.

"Apanya yang bagus?"

Jhona tidak menyahut. Hanya tersenyum. Dia membawa Dante melangkah dengan tetap merangkulnya.

-

Sejak beberapa menit yang lalu, Jhona hanya memilin-milin sebatang rokok yang ada di tangannya. Kopi kaleng di atas meja pun baru dia minum seteguk.

Tidak jauh beda dengan Jhona, Dante bahkan belum menyentuh susu hangat yang dibuatkan abangnya.

Mereka sama-sama sedang memandang ke depan dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

PUNK (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang