"Prameswada, daripada mengantuk, mending kamu kerjakan soal nomor satu di papan tulis, dengan rumus yang lengkap dan jelaskan juga tentang nilai simpangan."Mata Pram langsung terbuka lebar, punggungnya menegak. Matanya melongo--kaget, memandang guru di depan.
"Maaf, Bu--"
"Gak bisa mengerjakan? Yang sudah kamu kerjakan nomor berapa?"
"Mm--" Pram meneruskan gumamannya dengan senyuman. Lembar buku tulisnya masih kosong.
Guru paruh baya itu menghela napas keras--terdengar jelas di tengah kelas yang sedang hening. "Selesai pelajaran, kamu ikut saya ke ruang guru," tegasnya.
Pram mengangguk. "Siap, Bu."
Kemudian kelas kembali hening. Pram mempertahankan matanya agar tidak kembali terkantuk. Semalam dia sampai rumah, hampir pukul 00.00 WIB; gara-gara keasikan main dan ketinggalan jam penerbangan sore, saat dicek lagi, yang tersisa hanya jam penerbangan malam.
Dan karena Erik tidak ada, Pram jadi harus membangunkan Bibi untuk meminta dibukakan pintu. Perlu waktu setengah jam mengetuk-ngetuk jendela kamarnya, sampai Bibi akhirnya terbangun juga dari tidur pulasnya. Karena itu, jadinya Pram tidur sekitar pukul satu. Pagi-pagi bangun, masih mengantuk. Mau membolos, takut Dante berulah.
-
Seiring langkah, sejak keluar dari pintu ruangan guru, Pram berkali-kali mendesah dan menghela napas.
Gurunya itu mengadu pada wali kelasnya perihal Pram yang selalu tidak fokus saat jam pelajaran, yang membuatnya jadi tak pernah mengerti pada apa yang guru ajarkan. Beberapa kali mendengar aduan seperti itu, wali kelasnya tidak memberikan keringanan lagi, dia menelepon Erik, menceritakan masalah Pram dan merekomendasikan tempat les yang barangkali Pram butuhkan. Dia juga melaporkan kemampuan akademis Pram yang di bawah rata-rata selama beberapa bulan sekolah di sini, padahal dari rapot sekolah sebelumnya, Pram tidak terlihat begitu bermasalah, nilainya standar, paling jelek dalam rapotnya adalah C.
Entah bagian otak mana yang dikacaukan oleh penyakitnya, Pram jadi sulit sekali memahami pelajaran. Dan jikapun paham, dia akan melupakannya lagi. Sudah syukur kepalanya tidak berdenyut saat mencoba berpikir keras untuk memecahkan soal.
Pram hendak berbelok ke kantin, tapi langkahnya terhenti, dia meraba kantong celana. Menghela napas karena tidak menemukan dompetnya. Dia berbalik arah, melangkah menuju kelas sembari menahan rutukkan.
Matanya terpejam, menahan segala kesal. Jika kelas sedang kosong, mungkin dia akan berteriak menumpahkan kekesalannya itu.
Dompetnya ketinggalan di rumah, bukan di kelas!
Oh, ayoklah, Pang. Lo udah berhasil gak lupa jadwal dan seragam, berkat jadwal-jadwal yang udah lo bikin gede, nempel tuh di lemari buku. Tapi, lo lupa bagian ingetin diri lo buat bawa dompet.
Akh... selama ini dia terlalu bergantung pada Miki.
Pram menghempaskan tasnya ke atas meja, menidurkan kepala. Tadi Dante terlihat bersama teman-temannya menuju arah kantin. Jika bersama teman-temannya, itu akan aman, tak perlu Pram pikirkan.
-
"Heh, lo! Bangun! Guru masuk."
Pram ketiduran. Dia terbangun karena tepukan teman wanita yang duduk di hadapannya. Punggungnya menegak, mengambil buku dari dalam tas. Saat Pram melirik ke samping. Miki kepergok sedang menatapnya, dia langsung kembali berpaling. Pram juga tidak menghiraukan, kembali menghadap ke depan, membuka halaman buku sesuai yang diperintahkan guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUNK (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Pernah dengar tentang cerita seorang anak haram, anak hasil selingkuhan, atau anak yang tak diinginkan, yang dibenci, dicaci, diperlakukan seenaknya. Tapi dia hanya menerima saja, tetap bersikap baik walaupun...