Chapter 44

2.5K 383 82
                                    

|| Apa alasan kalian bertahan membaca cerita ini?

Sudah diberitahu ke semua penghuni Eidothea jika ada beberapa ruangan yang punya jam atau batas digunakan. Biasanya menjelang malam, beberapa ruangan di kastil utama, sudah tak boleh digunakan. Kecuali beberapa ruangan tertentu. Begitu juga area latihan terutama bangunan latihan yang ada jamnya, sayang sekali, pemberontakan selalu hadir di asrama atau perlahan tumbuh di jiwa anak-anak baru.

Harusnya bangunan latihan di sebelah timur akademi sudah kosong sejak makan malam tadi hingga esok pagi. Namun, malah terlihat remang-remang cahaya lentera kuning hampir jingga. Celah pintunya terbuka, memberitahukan jika ada seseorang di dalam. Apalagi suara gesekan pedang terdengar.

Satu pedang ditancapkan ke tanah, lentera itu mati bukan karena tertiup angin, tetapi memang sengaja dimatikan. Ruangan itu gelap dan dingin akibat angin malam berembus. Pintu masuk bangunan latihan itu tertutup dengan sendirinya. Setelahnya, pedang tertancap tadi ditarik, digenggam erat, kilauan bilah pedang itu terlihat di tengah gelapnya ruangan tersebut. Bagaimana kalau dia disebut sebagai Sibilah Satu.

Di tengah ruangan, berdiri sosok tidak jelas apakah manusia, boneka, patung, atau makhluk lain. Namun, sosok itu juga membawa pedang dan mampu menggerakkan seluruh tubuhnya. Kini sosok itu mengangkat kedua pedangnya, ya, dua bilah pedang digunakannya sekaligus tanpa kesusahan.

Hitungan mundur dimulai, tiga, dua, satu. Maka dengan tangkasnya, Sibilah Satu menerjang ke depan, tetapi serangannya ditahan. Tak mau membuang waktu, lekas dia menyerang kembali hingga suara dentingan pedang saling bersahutan memenuhi ruangan latihan tersebut. Sosok pembawa dua pedang itu begitu mahir karena selalu berhasil menangkis serangan, tetapi lawannya tidak lemah bahkan jauh lebih kuat karena satu pedang itu berhasil mengikis kedua pedang musuhnya berangsur-angsur.

Sibilah Satu menapakkan kakinya, pedang yang awalnya diangkat kini perlahan diturunkannya hingga ujung pedang berada sekitar 2 sentimeter di atas tanah, kini digenggam dengan kedua tangannya lalu dieratkan hingga pedang tersebut takkan terlepas dari tangannya kecuali pergelangan tangan itu dipenggal. Musuhnya itu yang awalnya mengenakan jubah, dibuanglah jubah itu sembarang arah, memperlihatkan sosok itu mengenakan tunik yang ujung bawahnya kotor akibat debu.

Memasang kuda-kuda dengan melebarkan kaki. Pedang kiri diarahkan ke langit-langit sedangkan pedang kanan diarahkan pada Sibilah Satu. Maka giliran sosok itu menyerang, gerakan yang sangat cepat hingga tak satu pun mata mampu membaca serangan itu, sayangnya Sibilah Satu dengan mudah membacanya bahkan sebelum serangan kedua, ketiga, keempat dilakukan. Sibilah Satu sudah tahu ke mana arah serangan itu sehingga dia mampu menahannya bahkan melakukan serangan balik. Tak terbesit lelah di wajah Sibilah Satu padahal dia tidak menggunakan neith sedikit pun.

Serangan bertubi-tubi diberikan oleh sosok yang tuniknya tak ia sadari sudah tergores-gores itu ternyata menjadi kesialan baginya karena para Dewa lebih senang melihat Sibilah Satu menang, atas inilah, kedua pedang itu semakin terkikis hingga Sibilah Satu menyadari bahwa ini kesempatan terbaiknya. Maka dengan serangan kejutan, dia berhasil menyerang hingga kedua bilah pedang lawannya berhasil dipotongnya tanpa hambatan sedikit pun.

Sosok itu terdorong hingga tersungkur sedangkan dua bilah pedangnya tertancap ke tanah. Baru dia mendongak, pedang panjang bersinar di ruangan itu berada tepat di hadapannya yang menjadi jawaban jika sosok itu telah kalah. Apakah pertarungan ini sudah selesai? Tanpa berucap apa pun, Sibilah Satu mengayunkan pedangnya, memenggal leher lawannya begitu mudah, kepala yang tak lagi menyatu dengan tubuh itu berguling hingga di dekat potongan bilah pedangnya dan cairan merah pekat keluar melalui ujung leher dan mulutnya, menggenang di sana.

Sibilah Satu menunduk, menatap pada tubuh tanpa kepala di depannya ini, melamun, terhenyak kemudian.

"ELOISE!" ujar Nathalia sambil mempercepat langkahnya agar seimbang dengan gadis bermata amber itu.

Book I: The Arcanum of Aalisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang