Chapter 69

2.3K 471 332
                                    

|| Kalian siap?

|| Berikan 70 vote dan 60 Komentar

Knee high boots berwarna hitam itu menginjak tanah, menginjak pula ranting-ranting kayu yang kering, ia menelusuri hutan belantara yang sepi bahkan kicauan burung tak terdengar, sejak tadi matahari tak kunjung juga menampakkan dirinya, sepertinya awan-awan hitam hendak menguasai dunia pada hari ini, tetapi tidak menurunkan hujannya.

Berhentilah langkah tersebut karena melihat beberapa binatang seperti seekor landak yang duri-durinya tersangkut dedaunan, kemudian ia lihat pula kancil yang melompat ke sana kemari sambil bermain dengan kupu-kupu berwarna biru cerah. Ia juga melihat tupai berlari dari satu dahan ke dahan lainnya sambil membawa kacang di tangannya, terkadang berhentilah tupai-tupai itu kemudian menikmati kacang yang menjadi makan siangnya.

Diliriknya ke sebelah lain, di rerumputan dengan bunga-bunga indah tumbuh, serta pohon rindang, berbatang sangat kuat dan kokoh, seekor kelinci tengah melompat ke sana-kemari, bulunya putih seperti salju. Tanpa pikir panjang, sepatu hitam tersebut melangkah menuju si kelinci yang tahu bahwa ada seseorang yang mendekatinya, bukannya takut, sang kelinci berhenti melompat kemudian berdiam diri karena sengaja hendak digendong oleh pemilik sepatu hitam yang berhenti di hadapannya. Maka diangkat kelinci tersebut, digendong, kemudian dielus-elus perlahan bulu putihnya yang kini si kelinci terlelap.

"Harusnya kau tak di sini, banyak pemangsa yang tak kenal ampun." Suara gadis terdengar dari sosok yang menggendong si kelinci.

Lalu tak lama, terdengar langkah kaki berbeda, tepat di belakang gadis tersebut yang kini mendongak kemudian berbalik untuk melihat siapa kira-kira yang berani mengganggu kesenangannya bermain dengan kelinci putih ini. Oh, ternyata seorang Phantomius berambut biru dengan mengenakan zirah perang. Melihat Phantomius itu yang datang kembali ke hadapannya pasti karena ada sesuatu yang mengganjal di hati penyembah Raja Iblis tersebut. Maka si gadis tersenyum simpul, kemudian berujar, "kau telah membuat kesalahan karena berani berada di hadapanku."

"Kalian lah yang terlalu berani terlibat dengan Phantome Vendettasius, padahal kalian hanya anak ingusan! Tidakkah kalian berpikir jika kematian akan datang karena berani mencegah rencana agung Raja kami!" Suara Amaguza meninggi, ia sudah terbawa amarah padahal gadis di hadapannya begitu tenang bagaikan danau tak berpenghuni.

"Kau mengatakan kami anak ingusan padahal di daerah hutan lain, ada para Majestic Families yang siap memenggal kepala kalian," balas Aalisha.

"Benar," sahut Amaguza, "tapi kami sudah menyusun rencana untuk menahan mereka dalam pertarungan, meski mereka dapatkan Zephyr-nya, tapi kami punya kartu yang lebih kuat dan kehancuran akan tetap terlaksana." Amaguza memperlihatkan kekuatannya yang kini selubung neith berwarna hitam mengelilingi dirinya.

"Ah begitu." Si gadis perlahan menaruh kelinci putih tersebut, berbisik pelan untuk menyuruh kelinci itu pergi. Maka menurutlah si kelinci dan mulai melompat pergi dari sana. "Kurasa kami akan mati karena 'kartu as' yang kalian sembunyikan."

"Itulah yang akan terjadi jika kalian berani mengusik kami." Amaguza memunculkan sebuah tongkat berwarna hitam dan ujungnya terdapat gantungan berupa tengkorak. "Sekarang jawab aku, siapa kau? Mengapa para Orly bernyanyi untukmu!"

"Aalisha," sahut gadis tersebut, "seorang murid Eidothea angkatan tahun pertama. Mengapa para Orly bernyanyi untukku? Coba tanyakan pada mereka langsung."

"Sayangnya aku tak punya waktu bertanya pada mereka. Jadi sudahlah. Aku tak peduli siapa kau karena tidak lama lagi para Orly itu akan bernyanyi lagu pemakaman untukmu!" Maka Amaguza mengetukkan tongkatnya ke tanah yang kini terdengar suara lolongan serigala, lalu disusul teriakan dan raungan para minotaur dan juga Beer Misvormwolfir yang para monster itu lengkap mengenakan zirah, beberapa ada yang menggunakan ketopong untuk melindungi kepalanya.

Book I: The Arcanum of Aalisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang