Chapter 63

2.2K 346 71
                                    

|| First impression kalian terhadap cerita ini?

|| Vote 40 dan Komentar 40

Hari ini adalah mimpi buruk bagi seluruh penghuni akademi. Cerahnya matahari yang sebenarnya mampu membuat mereka tersenyum, tetapi nyatanya semua berubah bagaikan badai hujan yang telah menerpa semua murid bahkan para pengajar Eidothea.

Satu kata menggambarkan semua mimpi buruk ini, pembunuhan.

Kehebohan besar terjadi ketika dua murid dari angkatan tahun kelima tiba-tiba berteriak sangat kencang, suaranya melalang buana, ia menangis hingga air matanya berderai. Membuat beberapa murid yang mendengar suara teriakan itu lekas menyusul mereka.

Detik itu pula, mereka diam membisu melihat pemandangan mengerikan itu, seolah waktu yang bergerak dalam hidup mereka berhenti sesaat. Runtuh pula dunia mereka itu karena tidak percaya melihat apa yang ada di hadapan mereka. Salah satu profesor di Eidothea, wanita yang sering mendapat pujian karena sifat baik hatinya, senyumannya yang indah, suara lembutnya, serta wajahnya yang cantik itu. Kini semua itu sirna dalam sekejap, manik mata pink rouge-nya tidak memancarkan kehangatan seperti biasanya, gaun yang ia kenakan bersimbah darah begitu pula tangan kanannya yang memegang erat pedang putih panjang yang penuh dengan darah hingga darah itu menetes melalui ujung pedangnya.

Para murid memperhatikan, di sekitar wanita itu kacau balau. Meja putih yang atasnya sangat berantakan, teko dan cangkir tertumpah sehingga menetes ke atas rerumputan teh yang baru diseduh itu, kue-kue kering berjatuhan ke tanah, kursi-kursi terjatuh pula. Namun, bukan pemandangan kacau-balau itu yang membuat detik hidup para murid terhenti.

Melainkan ketika para murid itu memutar pandangan mereka. Lalu diperlihatkan kenyataan menyakitkan itu. Di depan wanita bergaun, tiga murid angkatan tahun kelima bersimbah darah, terkapar di tanah, tubuh mereka terbujur kaku. Sedangkan sang wanita hanya diam dengan pedangnya yang tidak berhenti meneteskan darah, benar, darah dari ketiga murid yang barusan dibunuh olehnya. Kini sang wanita bergaun, berbalik menatap para muridnya yang masih dipenuhi rasa tidak percaya. Namun, apa yang mereka lihat adalah kenyataannya, bahwa profesor Ambrosia tersenyum padahal dia baru saja membunuh tiga murid Eidothea.

Suara jeritan terdengar karena salah satu murid melihat sahabatnya berada di dekat Ambrosia, terkapar dan kemungkinan sudah tak bernyawa. Murid lain lekas pergi dari sana, berlari dengan tangis tak kunjung berhenti kemudian tak sengaja menabrak bahu profesor Madeleine hingga ia tersungkur.

"Nak, Oh Dewa, kau kenapa? Kenapa pula menangis," ujar Profesor Madeleine, "tenangkan dirimu Nak."

"Profesor tolong kami, kumohon ...." Murid itu merasakan sesak memenuhi dirinya. Ia tak mampu melanjutkan perkataannya.

"Aku akan menolongmu, tapi tenanglah, sebenarnya apa yang terjadi?" Profesor Madeleine merasakannya firasat sangat buruk ketika melihat beberapa murid berlari menuju suatu tempat.

"Profesor Ambrosia, dia, dia membunuh tiga murid."

Badai hujan itu benar-benar menerpa Eidothea dengan membawa sakit tak tertahankan. Mendengar hal itu, profesor Madeleine berlari menuju lokasi yang dimaksudkan. Ia melewati setiap murid di sana, maka dengan mata kepalanya sendiri. Ia melihat Ambrosia masih berdiri di antara tiga murid yang terkapar penuh darah. Saat itu, bisa Madeleine lihat bagaimana senyuman Ambrosia terukir tanpa rasa bersalah. Senyuman yang seolah bukan Ambrosia yang Madeleine kenal.

"Ambrosia kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini?"

"Kenapa kau bilang, Profesor Madeleine? Ternyata kau begitu bodoh, aku tidak pernah sekali pun menyayangi mereka, Eidothea tidak pernah kuanggap sebagai keluargaku. Semuanya hanyalah kepalsuan. Kini, apa kau kecewa padaku, Profesor? Sayangnya, aku membunuh mereka tanpa rasa bersalah sedikit pun."

Book I: The Arcanum of Aalisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang