|| Chapter ini mengandung sedikit adegan pelecehan seksual, darah, dan mengganggu serta tak nyaman bagi sebagian pembaca
Pertunjukan opera syukurnya berjalan dengan lancar meski ada kendala sesaat karena kehilangan salah satu alat musik yang digunakan anak-anak orkestra, beruntung mereka punya alat musik cadangan jadi semua terkendali setelahnya.
Frisca sudah menghabiskan dua botol air karena begitu lelah, ia harus mengikat rambutnya, menggulung lengan seragam hingga siku serta entah ke mana jubahnya karena tak ia kenakan sejak pagi. Begitu pula Gilbert yang sudah mengganti seragam dengan kaos berlengan pendek akibat peluh keringat memandikan tubuhnya. Entah mengapa, mereka memang perlu mengutuk matahari karena bersinar terik.
"Bagaimana si kecil itu, sudah kauhubungi?" ujar Gilbert berjalan bersisian dengan Frisca yang kembali mengecek cyubes-nya.
"Sudah, cuma dibaca saja, tidak ada balasan," ujar Frisca berharap manusia satu itu baik-baik saja, tidak berbuat keonaran yang mengancam nyawanya, jika sekali saja gadis itu kenapa-kenapa apalagi terluka maka Frisca dan Gilbert akan terancam nyawanya karena amarah Anila.
"Sialan, dia belum juga berubah, selama tiga bulan. Dia membalas pesanku hanya tiga kali saja! Itu pun cuma ya, tidak, dan sialan." Gilbert pasti akan mendapatkan penghargaan sebagai manusia paling sabar karena ada Aalisha. "Jadi kauminta kita bertemu di mana?"
"Arah koridor kantin rumah pohon, Aalisha habis dari kuil, jadi kusuruh bertemu di sana." Frisca merasa jika beberapa pasang mata tengah memperhatikannya dan Gilbert, kebanyakan kakak tingkat, sejak tadi yang berlalu-lalang memang kakak tingkat, tidak ia lihat anak seangkatannya.
"Ya di luar dugaan, anak itu rajin berdoa," ucap Gilbert yang diingat ulang, ia jarang sekali pergi ke kuil. "Kira-kira apa yang dia doakan?"
Frisca melirik sesaat. "Entahlah, yang jelas, tak ada namamu di doa Aalisha."
"Kau juga ya! Sepertinya dia tak menyebut nama kita bahkan Anila dan Mylo."
"Memang kau berdoa menyebut nama kami atau mendoakan kebaikan untuk kami?" balas Frisca cepat.
Gilbert malah menatap ke arah lain seolah mengindari pertanyaan itu. "Tidak, tapi aku waktu itu berdoa agar kita bisa lulus sama-sama."
"Alasan, masih lama lulus, pikirkan tuh ujian mantra sama ramuan! Jangan kauledakan terus!"
"Banyak omong," sahut Gilbert asal hingga ia menarik seragam Frisca agar gadis itu berhenti.
"Apa?! Jangan asal tarik." Frisca berucap lalu kebingungan dengan wajah pucat agak takut terukir pada Gilbert. "Kenapa?"
"Lihat sebelah kanan." Setengah berbisik, Gilbert memberikan isyarat melalui mata akan segerombolan kakak tingkat laki-laki tak jauh dari posisi mereka.
"Abaikan saja," sahut Frisca langsung paham kode yang diberikan Gilbert. Gadis itu kemungkinan cocok menjadi ahli Semiotika.
Mereka kembali melangkah dengan keyakinan untuk membiarkan gerombolan penggosip yang bisa-bisa mengalahkan Lè Ephraim dalam menyebarkan berita sedang memanas. Namun, salah satu penggosip menyadari Frisca dan Gilbert atau lebih tepatnya mengenal mereka berdua, maka ia mulai mengeraskan suaranya.
"Sudah kubilangkan selain pendek dan cacat, kasta rendahan bernama Aalisha itu cocok jadi penjilat. Oh bisa saja dia dididik kedua orang tuanya menjadi manusia setengah anjing."
Kakak tingkat, laki-laki bernama Gezmez langsung menyahut, "kira-kira kuberikan daging, apa dia akan menggonggong untukku?"
"Nah Jasmine, bisa beritahu aku bagaimana wajah gadis cacat itu agar segera kuberikan makanan gratis," sahut Devury.
KAMU SEDANG MEMBACA
Book I: The Arcanum of Aalisha [END]
Fantasy[Bismillah, berani lo plagiat, gue tunggu hukumannya di akhirat!] BOOK I - TAMAT Athinelon, dunia sihir dengan keajaiban dan rahasianya yang tak terduga. Dunia yang terbagi menjadi beberapa benua, wilayah, distrik, dan zero domain. Dunia yang penuh...