Chapter 59 - Arc 5: Zephyr Stone's

2.6K 394 110
                                    

|| Vote 55 dan komen 60

Hari itu menunjukkan pukul dua siang, arena pertandingan Chrùin Games menjadi arena pembantaian yang kacau-balau karena tak disangka-sangka ada penyerangan dari monster minotaur. Banyak nyawa yang akan terancam hari itu dimulai dari para penonton Chrùin Games terutama para peserta yang berada di arena pertandingan.

Kesialan hari itu semakin menjadi karena sebagian dari pengajar akademi sedang ada urusan mendadak di luar akademi, seperti halnya profesor Xerxes Nerezza, profesor Rosemary, hingga master Arthur. Beruntungnya masih ada profesor Eugenius yang menetap di Eidothea karena memang harus mengawasi akademi, tetapi dia sendiri mustahil menyelesaikan masalah penyerangan ini sendirian apalagi Eidothea besarnya berkali-kali lipat. Jadi mau tidak mau para murid terutama dari angkatan atas harus berjuang melawan para minotaur dan mencegah pasukan mereka semakin banyak masuk ke akademi. Sayangnya, karena Eidothea terlalu besar dan megah, sulit bagi mereka melumpuhkan pasukan minotaur dengan cepat.

Berada di sebelah utara arena pertandingan Chrùin Games. Di salah satu lokasi, tercium bau darah menyebar karena tertiup semilir sepoi angin, tidak hanya itu, lokasi arena sana sangat kacau-balau dengan banyaknya pohon tumbang, hancur, ranting kayu ada di mana-mana. Ada pula cekungan tanah terbentuk yang kemungkinan berasal dari serangan dahsyat. Pasti terjadi pertarungan besar di sini? Berapa banyak korban jiwa dari pihak manusia karena sudah dipastikan para minotaur yang berbuat kehancuran ini.

Mengherankan, sangat heran. Melangkahkan kaki di sana, seperti berada di lautan darah karena tanah dan rerumputan di sana berubah merah darah, akibat tertutupi genangan darah, terlihat pula bercak darah di pepohonan.

Selain itu, pemandangan mengerikan nan menjijikkan karena ada usus yang menggantung di pepohonan maupun tersebar di tanah, banyak pula tangan dan kaki besar kini terpisah dari tubuhnya, disusul daging-daging cincang yang berhamburan di mana-mana. Begitu pula senjata yang digunakan minotaur tergeletak di tanah seolah pemiliknya tak diketahui berada di mana.

"Sungguh mengerikan," ujar Tamerlaine melangkah tanpa rasa jijik menginjak genangan darah, lalu langkahnya terhenti.

Melalui manik matanya, berada tak jauh dari posisinya. Ia melihat kepala minotaur yang berkali-kali lebih besar dibandingkan minotaur lainnya, minotaur itu tak punya tubuh lagi, kulit kepala minotaur itu berwarna hitam, tetapi bercampur merah darah yang menetes terus ke tanah. Kemudian tanpa mata dengan mulut menganga dan lidah terjulur keluar. Sudah Tamerlaine yakini jika minotaur itu adalah pemimpinnya. Dipastikan pula, lautan darah dan hamburan tubuh terpotong-potong yang barusan ia lihat bukan manusia, melainkan pasukan minotaur yang terbantai mengenaskan.

Sungguh, pemandangan itu bukan yang membuat Tamerlaine terkejut, tetapi di dekat kepala minotaur. Di kursi putih yang kini sedikit memerah karena terkena semburan darah. Duduklah seorang murid akademi, seorang perempuan rambut hitam legam dengan santainya sambil menatap pemandangan lautan darah di hadapannya sambil meminum teh, ia sedang menggoyang-goyangkan gelasnya itu. Bisa Tamerlaine tebak, siapa murid itu atau bisa jadi tebakannya salah?

Maka Tamerlaine melangkah pelan, semakin menginjak genangan darah hingga langkahnya terhenti ketika suara murid itu terdengar dingin.

"Bukankah pemandangan yang indah, Tuan Tamerlaine," ujar murid perempuan itu, lalu dia sedikit melirik pada Tamerlaine.

"Ternyata tebakanku benar jika semua yang terjadi di sini karena perbuatan Anda, Nona Aalisha."

Aalisha berhenti menggoyangkan gelasnya, ia taruh di atas meja. Kemudian berdiri, darah dari seragamnya masih menetes, meski sebagian sudah kering. Ia meraih pedangnya, melangkah hingga ke depan Tamerlaine, lalu tanpa aba-aba, pedang Aeternitas Aalisha sudah berada di samping leher Tamerlaine.

Book I: The Arcanum of Aalisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang