Chapter 45

2.7K 369 37
                                    

|| Chapter ini mengandung adegan darah, menjijikan, dan mengganggu!

|| Silakan searching internet untuk kata-kata yang tak dipahami, seperti tunik, lira, dan lainnya

Waktu bergulir tanpa ada yang sadar, tugas silih berganti menjadi sebuah ujian kecil membuat setiap murid bersiap karena ingin mendapatkan nilai tertinggi dan berbahagia kemudian hari.

Di sebuah kamar—ruangan rapi, terdapat meja bundar yang hanya bisa menampung dua orang, kursi kecil tanpa sandaran. Di atasnya ada satu piring berisi sepotong kue yang tak dihabiskan, aroma melati bercampur lemon tercium dari teko sedangkan di dalam cangkir teh sudah tak bersisa isinya. Gulungan koran dari media Lè Ephraim jatuh sehingga berayun-ayun tertiup sepoi angin malam nan dingin. Sudah tak ada siapa pun di kursi tersebut karena tamunya pergi melewati jendela kamar yang dibiarkan terbuka, membiarkan sepotong kue begitu saja tanpa dihabiskan.

Ditelusuri, terlihat jejak langkah di rerumputan, sebelah Utara dari kastil utama akademi hampir dekat dengan Prairie Lynx Woods, di tempat yang dapat dipijak karena sekelilingnya lebih banyak semak belukar dan pepohonan rindang. Seorang gadis berdiri di sana, samping kanannya melayang sekitar delapan lembing yang ujungnya sudah diasah semakin tajam, dipoles agar mengkilap, bersinar kebiruan karena dilapisi neith.

Malam ini, bulan sabit tertutupi awan. Gadis berambut kehitaman dan dikepang panjang—Aalisha malah mengenakan baju berlengan sangat panjang jadi digulung hingga mencapai bawah siku, celana agak menggantung, tetapi kainnya tebal, lalu dia mengenakan sepatu yang biasa digunakan dalam latih tanding.

Sepoi angin melewati poninya yang menyentuh mata, tidak sama sekali mengganggu pandangannya karena gadis itu sangat fokus, tatapan setajam pisau seolah habis diasah selama enam jam lebih, manik matanya hitam legam bak kedalaman laut yang tak diketahui ujungnya. Perlahan lengan kecil dan kurusnya itu bergerak, tak gemulai, melainkan tangkas menuju lembing di sampingnya, digenggam kuat lembing tersebut secara terbalik membuat cahaya kebiruan sedikit menyelimuti jari-jari hingga pergelangan tangannya.

Kaki kanannya dimundurkan, memasang kuda-kuda, bahu kanannya diangkat hingga sejajar dengan leher, bahu kiri dan lengan kiri sedikit diangkat. Lembing mengacung, mata lembingnya terlihat kilauan cahaya karena sinar bulan yang terpantul setelah awan-awan berarak pergi. Aalisha terlihat seperti seorang prajurit perang yang akan membuka perang melalui lembing yang melesak kencang hingga membelah lautan dan membinasakan prajurit musuh. Terlihat begitu ahli, proporsi tubuhnya tak cacat, sempurna seperti selalu berhasil diayunkan lembingnya itu.

Sasaran mata lembingnya adalah sebuah pohon besar yang daunnya sudah berguguran tertiup semilir angin. Dengan mantap tanpa keraguan, lembing di tangannya meluncur, terbang melintasi pepohonan lain dan semak belukar yang memisahkan antara tempatnya berdiri dan sasarannya yang bak seekor lembu gemuk. Tidak ada yang bisa melemparkan lembing sedemikian jauhnya mengalahkan anak panas—tubuh gadis itu bahkan kecil, seorang ahli sekali pun akan gagal, sudah dipastikan jika lembing itu akan melenceng jauh dari sasarannya.

Ternyata tidak! Tak disangka, gadis itu malah menyeringai. Pohon sasarannya itu tidak diibaratkan sebagai lembu gemuk, melainkan seorang kesatria dari pihak musuh. Kesatria dengan baju tempur berdencing-dencing, menjadi targetnya kali ini maka mata lembing yang tajam itu menembus baju tempur tersebut, melesak hingga mendorongnya, menembus dan mengoyak tubuhnya, lalu terjengkang. Mata lembing itu berhasil menancap di tanah hingga menyebabkan tanah menjadi cekung. Begitulah kondisi pohon yang berhasil dihancurkan lembing Aalisha, mudah baginya menargetkan sasaran jika diibaratkan manusia.

Mengetahui lembingnya berhasil menghancurkan pohon tersebut, lekas digenggamnya lembing lain dan diluncurkan dengan begitu cepat. Menembus pohon lain, menghancurkan bebatuan, membuat tanah retak akibat mata lembing yang begitu dahsyat mendaratnya. Peluh keringat menetes dari dagunya, ia terengah-engah seolah habis menyelam di laut dan berusaha mengambil pasokan oksigen agar masuk ke paru-parunya. Sangat puas dirinya kini, perlahan disapunya poni yang menutupi pandangannya.

Book I: The Arcanum of Aalisha [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang