Kamar Dennis terletak di bagian belakang rumah penginapan Bali Sunset. Bekas kamar milik penjaga penginapan, Pak Andreas yang dahulu tak betah menempatinya. Kegiatannya sehari-harinya turut membantu para pegawai lain membersihkan penginapan, setelah pulang sekolah. Dia sangat berterima kasih kepada Pak Andreas dan almarhum istrinya, yang rela menampung dan membiayainya hidupnya. Poster pilot dan pesawat terbang memenuhi dinding kamar. Di atas meja tergeletak beberapa buku kumpulan artikel berita tentang beberapa figur yang pernah melakukan aksi pura-pura mati.
Saat ini dia sedang menelusuri satu artikel. Peter Mcvey diduga memalsukan kematiannya dan bersembunyi di sebuah tempat rahasia. Tentu saja, itu bukan berita resmi dari koran terkemuka dunia, tetapi coretan di sebuah blog di internet. Namun, Dennis percaya sosok penyanyi pop yang terkenal itu telah memalsukan kematiannya. Belum mati, dengusnya dalam hati. Mereka telah memalsukan kematian dan bersembunyi di sebuah tempat rahasia. Dennis teringat ketika guru sejarah sedang memberi penjelasan di depan kelas.
"Presiden Amerika, John F. Kennedy terbunuh dan meninggal tahun 1963."
Dennis langsung menunjuk tangannya. Pak guru itu menatapnya, "Ya, Dennis?"
"Presiden Kennedy pura-pura mati, Pak," suara Dennis terdengar lantang. "Dia memalsukan kematiannya sendiri, bukan dibunuh karena alasan politik."
Seluruh kelas tertawa.
"Dan bisa kau beri tahu teman-temanmu, mengapa Presiden John F. Kennedy memalsukan kematiannya sendiri, Dennis Rip?" tanya Pak guru.
"Dennis Reeves, Pak, bukan Dennis Rip," ralat Dennis dengan wajah merengut. Teman-temannya juga sering salah ucap, Reeves jadi Rip yang tentunya dikaitkan dengan R.I.P. – Rest In Peace.
Mereka memang sering memanggilnya 'Dennis Rip' atau dengan memanjangkan singkatan itu untuk bercanda. Lihat, Dennis Rest In Peace sudah datang, Dennis Rest in Peace lagi ngambek, Hello Dennis Rest in Peace, apa kabar?
"Baiklah, Dennis Reeves," tukas Pak Guru dengan susah payah melafalkan S di ujung Reeve yang masih terdengar seperti Rips. "Lanjutkan penjelasanmu."
"Dia jatuh cinta dan ingin menikah dengan Marilyn Monroe, bintang film Hollywood yang pada tahun sebelumnya, tahun 1962 memalsukan kematiannya. Tapi tentu saja, dia tak bisa begitu saja meninggalkan kursi kepresidenan dan istrinya Jacky Kennedy, the first lady dan harus pura-pura mati, mm ... memalsukan kematian tentunya. Mereka berdua bersembunyi entah di mana."
Kelas kembali gaduh dengan gelak tawa. Pak guru menggelengkan kepala, merasa bahwa muridnya ini sudah keracunan bacaan dari internet.
Dennis kembali menekuri bacaannya. Dia menemukan bahwa orang yang memalsukan kematian tercatat telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Ini yang sempat tercatat sejarah, gumamnya dalam hati, belum lagi yang tidak tercatat. Tempat rahasia itu pasti sangat menarik sehingga mereka begitu nekad pura-pura mati.
"Kau terlalu banyak berkhayal, Dennis," komentar Douglas Smith, turis Amerika berusia 30 tahun yang menginap di Bali Sunset suatu hari.
Dennis sering ikut nimbrung di teras dengan para turis dan mengobrol.
"Tapi mungkin saja mereka memang benar-benar telah memalsukan kematian," sela Patricia Clarkson, kekasih Douglas yang berambut pirang. "Lihat, Bali begitu menakjubkan. Jika harus bersembunyi, aku akan memilih Bali, persembunyian terindah di seluruh dunia."
"Kau percaya, Patricia?" seru Dennis sumringah mendengar pendapat wanita yang sepertinya berpihak padanya. Jarang sekali ada yang menggubris kepercayaannya tentang kematian palsu dan tempat rahasia itu.
Patricia tersenyum. "Aku akan menyamar menjadi sosok lain kalau sudah tidak bebas lagi menikmati indahnya Sunset di pantai-pantai pulau Bali ini."
"Menyamar jadi orang lain?" gumam Dennis agak keberatan. Mereka tidak menyamar, pikirnya, lalu berkata, "Bukan bersembunyi di sebuah tempat rahasia?"
"Kurasa tidak," tandas Patricia. "Tapi menyamar menjadi orang lain, memalsukan identitas mereka, bersembunyi di sebuah kota terpencil atau negara lain, di Suriname barangkali, New Zealand, ujung Borneo atau entah di mana, tapi bukan di sebuah tempat rahasia, Dennis."
"Tapi aku yakin," tandas Dennis bersikukuh." Sangat yakin malah, mereka bersembunyi di sebuah tempat rahasia. Sebuah tempat yang memang khusus diciptakan untuk orang-orang yang memalsukan kematian mereka."
"Ah, mungkin di sebuah pulau yang terpencil?" ujar Patricia sedikit kasihan melihat Dennis begitu kekeh mempertahankan pendapatnya.
"Atau di hutan-hutan Borneo dan Amazon?" tanya Douglas menimpali.
"Mungkin saja," ujar Patricia. "Kau tau betapa anehnya psikologis orang zaman sekarang. Mereka merasa lebih tenang dan bebas saat bersembunyi di sebuah pulau terpencil atau bahkan di hutan Borneo."
"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya Douglas. Saat itu Dennis tiba-tiba melempar pesawat kertasnya ke udara.
Pesawat kertas itu tampak menukik ke jalan raya. "Naik!" bisik Dennis pelan. Aneh, pesawat itu terlihat membumbung dan jatuh di seberang jalan.
"Angin sedang berpihak kepadaku," tukasnya sembari ngucek-ngucek kedua alisnya. Douglas dan Patricia terlihat sedikit terkejut. Dennis nyengir dan berkata, "Tempat rahasia itu memang benar-benar ada dan nyata. "
Beberapa minggu kemudian, Dennis mendapat pesan dari Bu Cynthia untuk membantu Rivaldy mengerjakan PR sekolah. Harus ada yang menemani mengerjakan PR bersama-sama, pikir Bu Cynthia.
"Aku janji mengerjakan PR asal Dennis menemaniku." rengut Rivaldy. "Ibu jangan sekali-sekali membandingkan aku dengan Dennis nanti, ya. Aku pasti akan meninggalkan PR-ku dan kembali bermain game."
"Baiklah, baiklah Rivaldy," sahut ibunya menyerah. "Tapi kau harus benar-benar menuntaskan semua PR-mu. Jangan main game terus-menerus. Pusing Ibu setiap saat ditelefon guru sekolahmu."
Saat Dennis datang, Bu Cynthia menyambutnya dengan ramah.
"Hai Dennis," Bu Cynthia tersenyum menyapanya. "Rivaldy sedang kebingungan dalam menjawab beberapa soal. Tolong dibantu, ya Dennis."
"Baik, Bu Cynthia," ucap Dennis. Dia senang memiliki teman baru yang satu sekolah dengannya, apalagi Bu Cynthia kelihatan begitu ramah kepadanya.
Nicky, adik Rivaldy yang berusia 10 tahun saat itu sibuk membuka tasnya, mencari-cari pulpen. Bu Cynthia berjalan ke dapur dan membuat teh.
"Boleh pinjam pulpen, Dennis Rip," kata Nicky. "Punyaku hilang."
Kesalahan yang sama terulang lagi, pikir Dennis sambil mendelikkan matanya ke atas.
"Dennis Reeves!" katanya menatap tajam, lalu mengeja pelan, "R-E-E-V-E-S ... Reeves, bukan R-I-P."
Nicky mengulang nama itu dan kembali keseleo lidah, dan lagi-lagi menjadi Dennis Rips. Rivaldy tertawa geli. Cocok, pikirnya – Dennis Rip – dia kan memang gemar berpura-pura mati. Di sisi lain, Dennis agaknya menyukai suara denting cangkir teh yang terbentur sendok saat Bu Cynthia menyeduh teh untuknya. Perasaan ini menebar kehangatan di hatinya. Dia menajamkan pendengaran saat dentingan itu terdengar, lalu berhenti menulis atau membaca, menikmati setiap suara yang mengalir ke telinganya.
Dennis memperhatikan saat Bu Cynthia meletakkan nampan berisi teko, cangkir teh dan biskuit di meja. Bu Cynthia ini sepertinya cocok menjadi ibunya. Ibu yang selalu menghidangkan teh untuknya sore-sore saat mengerjakan PR. Dia tak pernah sekalipun mendengar denting sendok dan cangkir yang disajikan untuknya di kamar belakang penginapan. Tahun-tahun telah berlalu dalam sepi.
Sore miliknya hening tanpa denting cangkir teh. Dengan tatapan mata milik Bu Cynthia yang teduh, pikir Dennis, semua anak yang kehilangan orang tua berharap wanita seperti ini menjadi ibu mereka. Betapa beruntungnya Rivaldy memiliki ibu seperti Bu Cynthia, ibu yang penuh perhatian dan penyayang.
Vote, comment n follow ya, Gaes. Thank you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
PURA-PURA MATI
Fantasy(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA) Seorang remaja moody terbujuk untuk berpura-pura mati, memalsukan kematian dan melarikan diri ke sebuah dunia rahasia demi menyelamatkan sebuah keluarga yang dikasihi dan turut serta menyelamatkan sebuah kapal pesiar mi...