Bab 39: Drama Tumbal Hujan

12 2 0
                                    

Acara segera dimulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Acara segera dimulai. Dennis Reeves sibuk mengatur anak buah yang akan melakukan tarian bersamanya. Degup jantungnya berdetak tak karuan, sebab detik demi detik yang berlalu, acara 'tarian yang mematikan' itu makin bergulir. Sementara Megan dan Serena tak henti-hentinya menunggu kedatangan Rosemary Bianca, penyihir muda yang sudah seminggu ini tidak juga menampakkan batang hidungnya di Aula Gema Lonceng.

"Barangkali dia gagal dengan terawangnya," gumam Serena getir menatap Megan dengan ekspresi wajah cemas.

Megan nyaris tak sanggup berbicara. "Mungkin yang dapat kita lakukan sekarang hanyalah menguatkan pikiran dan ber-fokus menolak ramalan itu, Serena. Kau tahu, Ibuku pernah mengatakan, ramalan tidak akan terjadi kalau kita tak mempercayainya."

Acara demi acara terus berjalan. Saat ini kelompok Orlando sudah berada di atas panggung. Mereka mengenakan jubah panjang hitam yang menebar pesona misterius dan bersiap-siap menyanyikan lagu Tears In The Rain. Orlando memang mengajak belasan teman yang rata-rata sudah berumur tiga puluh tahun ke atas. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari desa sebelah yang berhasil membujuk teman lain dari Village of Endless Rain untuk menampilkan pertunjukan ini dengan nuansa yang lebih modern.

Panggung berubah menjadi temaram dan suara musik mulai mengalun. Suara lagu yang bergema, diiringi musik benar-benar membuat penonton terpukau dan aura misterius seakan menebar ke segala penjuru ruangan.

Dennis Reeves tersenyum di belakang penonton menyaksikan penampilan Orlanda dan teman-temannya. Dia teringat pada lagu oldies yang sering diputar oleh Bu Cynthia di Locusta Originia. Lagu yang dibawakan oleh Orlando dan teman-temannya sukses mencampur-aduk perasaan para penduduk yang serta merta teringat pada kisah cinta mereka pada tahun-tahun yang telah berlalu, menangis dalam hujan untuk kekasih pujaan, agar kesedihan dan air mata menjadi tersamar.

Saat ini Denziel tampak berdiri di samping Melody Harlow, menatap ke arah panggung dengan pikiran bercabang. Enam gadis cantik, penduduk Village of Endless Rain sedang menampilkan pertunjukan mereka.

"Katanya acara untuk memicu kesedihan," ujar Harlow heran. "Mengapa ada pertunjukan yang riang-gembira, Denziel? Apa aku ketinggalan informasi yang sudah kau jelaskan kemarin?"

"Konsepnya begini, Harlow," jelas Denziel. "Kesedihan dan air mata itu lebih mudah tercipta setelah seseorang merasa sedih dan gembira secara bargantian. Kita mencoba menggodok perasaan penonton dari gembira ke sedih, sedih ke gembira dan diakhiri dengan puncak kesedihan dengan tarian Pura-Pura Mati milik Dennis nanti."

"Maksudmu," ujar Melody Harlow, "kalau semua acaranya sedih dari A sampai Z, mereka akan kebal, begitu?"

"Tepat sekali."

"Oke, baiklah ketuaku yang smart dan tampan," seru Melody Harlow sambil merapatkan kedua jemari tangannya dengan manja dan tersenyum lebar. "Aku paham sekarang!"

Keenam gadis di panggung itu tampak berpenampilan seperti sosok yang berpakaian tuxedo hitam putih  yang kerap dikenakan oleh pesulap yang memegang payung panjang dan ditutup seperti tongkat, menari dengan lincah diiringi dengan piano, menyanyikan lagu yang berjudul "Hei, 'Ku Tak Butuh Payung Itu Di Sini."

PURA-PURA MATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang