9. Apartemen Luci

9.7K 800 51
                                    

Jangan lupa vote, komen, dan bantu share cerita ini yaaah. Follow juga akun Wattpad, Instagram, dan KaryaKarsa: @todayisfina 💃✨ Thankyou.

Happy reading!

***

Kening Dekada berkerut dalam. Ia bingung melihat Luci yang sudah membereskan pakaian-pakaiannya, tetapi masih banyak juga yang ditinggalkan di apartemennya, bahkan satu lemari.

"Nanggung, Ci. Kenapa nggak semuanya dibawa?"

Luci beranjak setelah menutup satu kopernya yang isinya khusus untuk bawahan saja. Napasnya berembus saat menoleh ke arah Dekada. "Kalau semua dibawa, di sini saya pakai apa?"

"Kan, bisa bawa dari rumah kalau buat mampir aja."

"Kok, mampir aja? Saya masih mau ngapa-ngapain di sini, Deka. Masih mau makan, minum, nyantai, dan tidur di sini juga."

"Sesekali aja, kan?"

"Hah? Ya, bisa juga berhari-hari. Lagian, di sini masih ada Kiki dan saya pastinya akan selalu butuh dia."

Pandangan Dekada menyapu ke setiap sisi dari apartemen mewah itu. Menurutnya, tempat itu terlalu besar jika hanya ditempati satu orang saja. "Ini terlalu besar kalau buat Kiki aja. Kayaknya Kiki harus cari apartemen yang lebih sederhana setelah waktu sewanya berakhir."

"Saya masih betah di sini, Deka."

"Kiki yang bakal menetap, kan? Kamu tinggal sama saya sekarang, Ci."

Tidak terdengar nada mendesak dari Dekada sebenarnya, tetapi entah kenapa Luci tiba-tiba menjadi jengkel. Ia belum rela meninggalkan apartemen yang sudah menjadi tempat terbaiknya sejak berkarir, tempat untuk melakukan segala hal bersama Kiki, tempat yang sangat berharga bagi mereka. Kenapa harus pindah kalau masih betah?

Luci mencoba tenang, matanya yang menatap Dekada menyiratkan permohonan. "Kamu juga bakal sibuk banget, kan, Deka? Kamu bakal sibuk syuting sampai pagi, bakal jarang di rumah, saya juga gitu. Saya butuh Kiki dan tempat ini bakal jadi tempat pulang saya kalau kamu lagi nggak di rumah."

"Saya udah nggak ada kegiatan syuting lagi."

"Someday, Dekada," sahut Luci cepat. Mati-matian ia mencoba untuk mengontrol suaranya, napasnya, dan kata-katanya. "Nanti kamu pasti bakal dapat job lagi, kan? Kita bakal sama-sama sibuk." Kita nggak bisa mengelak dengan karir yang kita jalani sekarang. Pernikahan ini ada untuk itu.

Teriakan batin itu Luci simpan sendirian. Mana sanggup Luci mengatakan itu pada Dekada yang sangat menikmati pernikahan mereka. Luci akan sangat merasa bersalah kalau kata-kata itu lolos dari mulutnya dan menyakiti suaminya.

“Deka, izinkan saya tetap bisa menikmati tempat ini bareng Kiki, ya?” Suara Luci melunak, ia akan berusaha berbicara dengan baik jika ingin Dekada luluh. Lagi pula, Luci memang tidak berniat untuk menjadi istri pembangkang, tetapi untuk yang satu ini Luci harap Dekada bisa memahaminya. Memahami untuk hal yang kesekian kalinya.

Dekada memandang teduh pada Luci yang tingginya sedadanya. Melihat gurat penuh permohonan di wajah ayu itu membuat hati Dekada menghangat, tidak tega. Tangannya sudah ditahan-tahan untuk tidak lancang mengusap-usap kepala Luci. Ah, lancang apanya? Tolong ingatkan mereka adalah suami-istri yang sah. Memang dasarnya Dekada malu-malu karena tidak bisa memprediksi respons Luci jika ia melakukan pergerakan itu.

“Asalkan nggak lebih banyak daripada di rumah, ya?” tanya Dekada membalas ucapan Luci sebelumnya.

“Hm?” Mata Luci mengerjap dengan ekspresi polosnya, tidak paham dengan perkataan Dekada.

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang