Selamat membaca :))
***
“Lily kena demam berdarah, Ci. Lily perlu perawatan.”
Tubuh Luci melemas seketika. Tungkainya merosot dan nyaris menyentuh lantai kalau saja Bianca tidak segera menyangga tubuhnya. Luci tahu penyakit itu adalah penyakit yang tidak boleh disepelekan.
Datang agak terlambat sebab terjebak macet, rupanya Lily sudah ditangani oleh dokter. Di dalam ruangan nomor 23 itu, ada Bryan yang sedang membacakan dongeng untuk Lily. Sementara Luci masih belum sanggup melihat putrinya terbaring dengan tangan yang ditusuk jarum infus.
Bianca menuntun tubuh Luci untuk duduk di kursi depan ruang rawat. Bianca mengusap-usap kedua pundak Luci yang terus bergetar karena terisak. “Tenang, ya, Ci. Selama Lily dirawat dengan baik, pasti bakal cepat sembuh.”
Luci menoleh dengan wajah yang sudah basah. “Tadi masih baik-baik aja, Bi. Apa karena aku pergi, ya, Lily jadi sakit?”
“Nggak, kok, Ci. Mungkin tadi kamu nggak sadar aja kalau sebenernya badannya Lily mulai hangat.”
“Pantesan tidurnya Lily kayak nggak tenang banget sampai bangun berkali-kali, ternyata lagi sakit. Aku emang nggak peka banget.” Luci menunduk dalam-dalam, jemarinya saling memilin, makin merasa tidak berguna untuk Lily, merasa tidak bisa memahami putrinya sendiri.
“Jangan bilang gitu, ah, Ci. Kamu itu udah melakukan yang terbaik buat Lily. Perkara sakit, kan, nggak ada yang tau kecuali anaknya sendiri yang bilang. Lily juga kelihatan happy-happy aja, kan?”
Luci masih belum bisa memaklumi dirinya sendiri. “Tetep aja, Bi ....” Ia memilih bangkit dan mengintip ke dalam ruangan melalui bagian kaca di pintu.
“Masuk, gih. Lily pasti nyariin kamu.”
Luci mengangguk. Sudah memegang kenop pintu dan hendak memutarnya, tetapi tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya tersentak sendiri. Mas Deka. Luci segera merogoh tasnya untuk mengambil ponsel, lantas teringat kalau ponselnya mati.
Luci berbalik mendekati Bianca. “Bi, aku pinjam HP kamu, dong.”
“Buat apa, Ci?”
“Buat telepon Mas Deka, HP aku mati soalnya.”
Lantas, Bianca memberikan ponselnya pada Luci. “Kamu ingat nomornya, kan?”
Luci mengangguk cepat sambil mengetik nomor ponsel suaminya. Ia tempelkan benda pipih itu ke telinganya. Panggilan berdering, tetapi tidak diangkat sampai deringnya berakhir. Luci coba lagi hingga berkali-kali, tetapi tetap saja tidak diangkat. Perasaan tidak tenang makin menyerangnya. Luci takut sekali kalau seandainya Dekada sudah menunggu lama dan dirinya justru tidak jadi datang. Luci takut sekali kalau suaminya marah.
Bodoh, Ci, bodoh! Harusnya tadi kamu masuk dulu, siapa tau Mas Deka udah nungguin. Kan, bisa diajak ke sini juga. Arrghh!
“Nggak diangkat, ya, Ci?” tanya Bianca yang merasa iba.
Luci menjawab dengan lesu. “Nggak, Bi. Dia lagi apa, ya? Tadi, aku janjian sama dia. Dengar kabar Lily, aku panik banget dan malah nggak bisa kabarin Mas Deka soalnya HP-ku mati.” Luci mengusap wajahnya gusar. “Lebih tepatnya, aku lupa buat ngabarin. Padahal aku udah sampai di tempat janjian tadi, tapi belum sempat ketemu.”
“Duh, semoga aja suami kamu nggak mikir aneh-aneh, ya.” Bianca mengambil kembali ponselnya yang disodorkan Luci. “Kamu masuk dulu, gih. Nanti kalau suamimu telepon balik, aku kasih tau.”
Luci menurutinya. Kali ini, ia benar-benar membuka pintu ruangan perlahan. Bryan dan Lily menoleh bersama saat menyadari kedatangan Luci.
“Mbuun.” Lily merengek sambil mengangkat satu tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Camera [COMPLETED] ✓
Romance✨ Cerita terpilih untuk Reading List @WattpadRomanceID [Bittersweet of Marriage - Maret 2023] ✨ Naskah Terbaik #1 event Menulis Novel oleh Semanding Books Blurb: Luci boleh melanjutkan karirnya di Jakarta dengan syarat harus memiliki suami sebab ked...