37. Tetap Ada, Tapi Hampa.

6.3K 572 88
                                    

Tekan dulu bintangnya, yuk! Udah? Nah, jangan lupa komen di sepanjang cerita yaaa hehehe. Komen min. 60, votes min. 100 buat next chapter yaaa. thankyou :))

Happy reading!

———— 💌 ————

Luciani:
Mas, jangan lupa sarapan :)

Dekada:
Kamu juga.

Keesokannya.

Luciani:
Mas, hari ini sibuk apa?

Dekada:
Tidur seharian di apartemen Andra.

Hari berikutnya.

Luciani:
Mas, hari ini aku makan cumi goreng pakai sambal mentah. Kamu makan apa?

Dekada:
Dari kemarin dibeliin sate sama Andra.

Hari setelah hari sebelumnya.

Luciani:
Mas, udah tiga hari, aku masih harus nunggu?

Dekada:
Aku masih belum selesai.

———— 💌 ————

Hari-hari setelah Dekada mengantarkan Luci untuk menemani Lily, mereka hanya berhubungan melalui pesan saja. Ini benar-benar asing bagi mereka, tetapi sepertinya begitu cara mereka untuk meredamkan sedikit demi sedikit bara yang sudah berhasil membawa mereka pada situasi ini. Jelas ada perbedaan suasana pada sisi masing-masing.

Beberapa hari ini, Dekada membenarkan ucapannya yang akan kembali lagi menempatkan diri di apartemen Andra. Laki-laki yang datang dengan penampilan acak-acakan dan membuat sahabatnya amat bingung itu tidak mau berbicara barang sedikit saja. Andra yang biasanya menjadi wadah berbagi cerita pun sudah kewalahan bertanya ini-itu, tetapi tidak ada yang Dekada tanggapi. Meskipun begitu, Andra bisa menebak kalau Dekada pasti sedang bermasalah dengan istrinya. Andra hanya bisa sabar menghadapi sikap Dekada yang menjadi amat dingin, sesekali juga marah karena sesuatu yang tidak penting. Andra melayani semua yang Dekada butuhkan, dari tempat tidur, makan, bahkan sampai pakaian. Sudah seperti melakukan tugas yang biasa dilakukan di ruang publik, manajer merangkap jadi asisten sekaligus.

“Gue berasa hidup sama patung.” Andra menjatuhkan beberapa camilan di atas meja sambil menggerutu jengkel. “Udah tiga kali 24 jam ditambah 600 menit ini gue bertanya-tanya, lo ini ada masalah apa? Oke, gue bisa berhenti kepo, tapi lo jangan kayak gini, anjir. Bisa-bisa gue ikut depresi. Mending gue tinggal sendirian yang jelas-jelas nggak bakal ngomong sama siapa pun, daripada gue tinggal sama orang, tapi nih orang malah kayak orang frustasi. Hidup segan mati tak mau.”

Dekada masih bergeming. Tubuhnya menghadap ke televisi, mata pun memandang ke arah yang sama, tetapi tentu hati dan pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Ada ponsel dalam genggamannya, sesekali ia melihat dan mengetik pesan untuk Luci. Ada perbedaan antara dirinya yang masih mau membalas pesan Luci dengan dirinya yang hanya diam saja di posisi sebenarnya. Siapa yang bisa melihat raut dan sikap orang di balik pesan yang dikirimnya? Dekada mungkin terlihat sukarela meladeni Luci, tetapi yang sebenarnya dirasa adalah kekecewaan yang sayangnya makin mengusik. Andai detik ini Dekada masih bertemu atau bertatap muka dengan Luci, mungkin ia akan menampakkan kemarahannya. Itu sebabnya Dekada memilih untuk pergi sementara waktu agar ia bisa menahan dirinya.

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang