14. Berdamai

8.8K 719 86
                                    

Sudah bermenit-menit setelah jam 00:00 Luci belum juga membawa diri untuk tidur. Bagaimana mau tenang tidur, suaminya sendirian di luar sana. Bohong kalau Luci tidak kepikiran. Ia juga tidak menyangka bisa berbicara kasar seperti tadi, menyudutkan Dekada tanpa mengetahui kebenarannya. Luci seperti tidak mengenal dirinya karena biasanya, Luci selalu menyimpan kekesalan sendiri tanpa bisa dikeluarkan. Namun, tadi seperti kehilangan kontrol dan begitu mudah terbakar api salah paham. Sejak melihat mata Dekada berkaca-kaca, perasaan bersalah sudah bercokol dalam dirinya. Namun, bukan Luci namanya kalau tidak memendam. Luci merutuki diri. Aneh! Giliran perasaan khawatir malah dipendam-pendam.

Ingin rasanya menghampiri Dekada sejak tadi, tetapi tidak tahu bagaimana caranya, malu juga karena sudah marah-marah. Di atas meja riasnya sudah ada empat gelas minuman dengan jenis yang berbeda. Ada teh hangat, cokelat hangat, kopi, dan air jahe. Luci tidak tahu mana yang mau Dekada minum. Bisa jadi tidak ada yang mau dinikmati dari empat minuman itu. Luci takut Dekada menolak pemberiannya karena terlalu dongkol.

Luci mengintip dengan sedikit menggeser tirai putih yang menutupi pintu kaca itu. Luci terus begitu sejak tadi, ingin tahu apa yang Dekada lakukan. Dari tadi, Dekada juga tidak tidur, Luci melihat laki-laki itu duduk tenang sambil memainkan ponsel. Sekarang, Dekada sudah terlihat memejamkan mata dengan ponsel yang berada di perutnya. Luci memanfaatkan suasana itu. Pelan-pelan, Luci menggeser pintu hingga embusan angin malam langsung memeluk tubuhnya. Astaga, dingin sekali. Bagaimana mungkin Luci tega membiarkan Dekada tidur di luar begitu? Tanpa bantal, guling, dan selimut. Tidur pun dalam keadaan duduk. Sangat tidak nyaman.

Setelah pintu terbuka, Luci membawa empat minuman yang sudah disediakan dalam satu nampan, lalu diletakkan di meja kecil samping Dekada.

Tangan Luci maju-mundur ingin menyentuh Dekada. Mau membangunkan, takut mengganggu. Tidak dibangunkan, kasihan. Luci bimbang sekali. Akan tetapi, Luci tidak mau terlambat untuk minta maaf, Luci tidak mau interaksi mereka tambah keruh.

Perlahan tapi pasti, Luci berhasil menyentuh punggung tangan Dekada sebelah kanan. Lembab dan dingin. Luci berpikir karena diterpa angin malam. Tidak tahu saja kalau tangan itu sempat basah karena dipakai untuk menghapus air mata. Luci menggerakkan jemarinya dengan lembut.

“Deka,” panggilnya pelan.

Peri-peri di sampingnya sudah mulai berperang lagi. Yang satu bilangnya bangunkan dengan kecupan, yang satu lagi bilangnya bangunkan dengan suara yang kencang. Mana yang mau didengar Luci? Dua-duanya berat dilakukan. Luci menggeleng kencang untuk mengusir mereka.

Tangan Luci sudah berpindah ke pipi kiri Dekada. Dengan gerakan ragu, Luci coba untuk mengusap-usap pipi yang menjadi bagian tertanamnya dimple itu. Dekada yang dielus, Luci yang deg-degan. Ini pertama kalinya ia menyentuh area wajah Dekada. Lembut sekali, kulitnya kencang. Saat itu, Luci tidak sampai memegang wajah Dekada, tangannya hanya terpaku di dada bidang laki-laki itu.

Mata Dekada bergerak dan itu membuat Luci terkejut hingga menarik tangannya dari wajah tampan Dekada. Luci coba untuk tidak kabur dan membiarkan Dekada membuka matanya. Pandangan mereka bertemu dalam sorot yang berbeda. Dekada memandang dengan sangat tenang, sementara Luci cemas.

“Hm?” Suara berat nan dalam itu melayang-layang bersama angin dan Luci seperti siap terbang sekarang. “Kenapa, Ci?”

“Dingin di sini, tidur di dalam, yuk?” tawar Luci dengan suara lirih.

“Nggak apa-apa, aku di sini aja.”

“Jangan gitu, nanti kamu sakit.”

“Nggak bakal, Ci. Aku biasa, kok, tidur di sini. Tenang aja. Kamu balik tidur, gih.”

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang