32. Berlipat-Lipat Salah Paham

6K 486 76
                                    

Tekan dulu bintangnya, yuk! Udah? Nah, jangan lupa komen di sepanjang cerita yaaa hehehe thankyou :))

Happy reading!

***

Di dalam salah satu unit apartemen minimalis, ada dua laki-laki yang sedang dalam kondisi berbeda. Satunya, si tamu, dua jam yang lalu, datang dengan perasaan kesal dan jengkel. Satu lagi, si penghuni unit, sedang semangatnya menghabiskan dua bungkus seblak yang dibawa sang tamu, alias sahabatnya sekaligus atasannya.

Dekada dan Andra.

Lima menit lalu, fokus Andra yang sedang makan terpaksa dipotong oleh dering ponselnya sendiri. Saat dilirik, ia tak langsung mengangkat, tetapi memberi info sekaligus izin dulu pada Dekada yang duduk di atas sofa dengan dua kaki panjangnya yang ditekuk.

“Luci?” Dekada bertanya langsung saat berhasil membaca tatapan sahabat sekaligus manajernya itu. Andra mengangguk sambil mengunyah santai. “Angkat aja. Bilang lo lagi nggak sama gue, kalau dia tanya.”

“Yakin lo?”

Dekada berdehem sebagai balasan. Ya, sudah, begitu perintahnya, begitulah yang Andra lakukan. Ia menerima panggilan dari Luci, lalu menjawab pertanyaan, ‘Kamu lagi sama Mas Deka, nggak?’ dengan jawaban sesuai apa yang Dekada pinta. Setelah bertukar suara melalui telepon, Andra melanjutkan menyantap makanannya. Nanti saja urusan kepoin rumah tangga orang, yang penting perutnya terisi dulu.

Sudah selesai makan, Andra menoleh ke belakang, ke arah Dekada yang sedang menopang dagu dengan dua lutut yang berdempetan. Matanya menatap televisi, tetapi Andra tahu kalau Dekada tidak menyerap tontonannya, pasti pikirannya kosong sekarang. Mulutnya maju beberapa senti dari ukuran normal. Wajahnya benar-benar tertekuk kesal. Sayangnya, laki-laki itu lebih terlihat seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan daripada seorang suami yang sedang berantem dengan istrinya.

“Ada apa, sih, Ka? Tumben amat lo ngambek sama Luci.”

Dekada berdecak. “Lagi males sama Luci.”

“Ya, kenapa? Nggak dikasih jatah lo sama dia? Makanya kalau main, tuh, jangan kasar-kasar, musti halus dan lembut dan penuh cinta. Jangan—”

Stop it! Ini bukan tentang jatah.”

Andra mendengkus geli. “Terus tentang apa? Uang bulanannya kurang? Atau, malah kelebihan?”

“Bukan juga tentang uang bulanan.”

Malas menebak-nebak lagi dan berujung tidak benar, Andra memilih diam sekarang, membersihkan bekas makannya. Lebih baik menunggu Dekada yang akan bercerita sendiri.

“Tadi gue janjian ketemu sama Luci. Gue udah nunggu lama, dia dateng, eh malah nggak jadi temuin gue.”

Benar, kan. Pasti akan buka suara sendiri. Mana tahan dia tidak bercerita atau memendam sendiri.

“Maksudnya gimana? Dia dateng, tapi nggak nemuin lo? Terus nemuin siapa?”

Dekada berdecak, sebal dengan otak temannya yang kurang menangkap—padahal penjelasannya sendiri juga tidak jelas. “Bukan. Gue lihat dia udah dateng, tapi bukannya masuk, malah pergi lagi dan kita nggak jadi ketemu.”

“Terus, gara-gara itu lo ngambek?”

Dekada mengangguk sambil mengerucutkan bibir.

“Bocil baperan!” cibir Andra agak kesal. Bantal sofa di pangkuannya melayang dan menabrak wajah Dekada. “Cuma perkara nggak jadi ketemu, lo sampai ngebiarin HP lo terus-terusan berdering sampe telinga gue pengang? Mending lo silent aja kalau cuma pengin mastiin Luci nyariin lo terus.”

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang