47. Kejutan yang Menunggu

8.5K 659 77
                                    

Halooo?? Ada yang masih nunggu kelanjutannya?

Sebelumnya, coba jawab pertanyaan ini yaaa!

Kalian ketemu cerita ini dari mana?

Sejak kapan ikutin cerita ini?

Sudah dijawab? Terima kasih yaaa! Silakan lanjuttt bacanya💖

Happy reading!

***

Lagi-lagi Luci harus menelan kenyataan pahit. Tidak ada sosok Dekada yang menemaninya ketika proses pengambilan video kesaksian. Nyaris dua jam ia duduk seorang diri di hadapan kamera, menahan rasa takut yang tidak kunjung hilang. Luci tidak bisa bercerita dengan tenang, alhasil pembuatan videonya pun sempat diulang beberapa kali. Luci tidak salah, itu adalah respons alami dari dirinya.

Sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa Dekada tidak menemani. Laki-laki itu sudah memegang jadwal promosi film ke luar kota. Bertepatan dengan kedatangan pihak kepolisian ke rumahnya, Dekada justru harus terbang ke Yogyakarta bersama sutradara dan beberapa pemain. Meskipun cukup kesal dan kecewa, Luci tidak bisa menyalahkan Dekada, tentu suaminya harus profesional.

Luci tidak benar-benar sendiri sebenarnya. Di rumahnya ada ayah dan ibunya, juga ada Bianca dan Bryan yang datang dengan maksud ingin mengenal orang tua Luci sekaligus bertemu Lily. Hanya saja, mereka tidak bisa ikut menemani saat perekaman. Entahlah, Luci pun merasa tidak apa-apa sendiri kalau bukan dengan Dekada. Alhasil, mereka hanya bisa memberikan banyak perhatian untuk Luci sebelum masuk dan sesudah keluar dari kamar tamu yang dijadikan tempat pengambilan video.

Setelah pihak kepolisian pergi dan beberapa saat menenangkan Luci, mereka pun makan siang bersama. Sekarang, Luci sedang bersama Bianca di sofa ruang tengah. Dalam pangkuan Luci, ada Lily yang terlelap sambil memeluknya, bersandar di dadanya. Jujur saja, Lily yang paling bisa membuat Luci menjadi lebih tenang. Ketakutannya tadi langsung sirna saat menggendong Lily. Bukti bahwa Luci tidak pernah sekali pun menyalahkan kehadiran Lily. Bagi Luci, kejadian itu—bersama pelakunya sekaligus—tidak akan pernah ia sangkutpautkan dengan putrinya. Tidak akan pernah. Mereka berbeda.

“Bi, kamu punya kenalan tukang cetak foto polaroid gitu, kan?” tanya Luci pada Bianca.

Sambil mengunyah kacang, Bianca menjawab, “Iya, ada, Ci. Kenapa? Kamu mau cetak foto?”

“Hu’um, mau cetak banyak, nih.”

“Ya, udah, kamu siapin aja semua fotonya di folder G-Drive. Nanti aku hubungin temenku.”

Luci mengangguk setuju. “Nanti aku kabarin kalau udah beres.”

Tak berselang lama, Bryan yang beberapa menit lalu mencari udara segar di luar pun sudah kembali masuk ke rumah. Ia tersenyum gemas saat melirik Lily yang tertidur.

“Nggak mau ditidurin di kamar? Sini aku bantu pindahin,” ucap Bryan menawarkan diri.

“Nggak usah, B, gini aja nggak apa-apa. Tau sendiri, kan, Lily kalau udah bobo di pangkuan mah nggak suka dipindahin ke kasur, yang ada malah dia nggak bobo lagi.”

“Yah, dia nggak tau aja, Bi,” ledek Bryan sambil tersenyum mengejek.

Bianca tertawa. Sementara Luci menatap bingung pada kakak beradik itu. “Kenapa, sih? Nggak tau apa?” todong Luci.

“Abang, tuh, punya cara jitu supaya Lily nggak bangun kalau dipindahin ke kasur. Jadi, kalau badannya udah nyampe kasur gitu, kan, dia auto melek, ya? Nah, si Abang nih juga bakal langsung tepar sambil ikutan merem, nggak bergerak kayak patung. Jadi, si Lily mikirnya Abang lagi bobo juga, kan, terus dia merem lagi deh.”

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang