26. Mengaku Cemburu

6.9K 545 96
                                    

Cieeee tidak tunggu 100 votes dulu, udah update nihhh 😋 Mumpung lagi encer. Tapi, tetap ramaikan, yaaa???

Happy reading!

***

Tepat saat aroma masakan mulai menyebar untuk menggoda perut, tiga laki-laki yang tidak begitu berkeringat, tiba di rumah mewah bergaya klasik itu. Ketiganya sama-sama lebih dulu membersihkan diri sebelum menyusul para istri yang sudah di dapur.

Dekada sudah selesai mandi, ia memakai baju dan celana yang lebih santai yang diambil sendiri dari dalam koper. Setelahnya, bukan dapur tujuan Dekada, melainkan kamarnya yang berada di lantai atas. Seperti Luci sebelumnya, ia pun terbatuk-batuk saat memasuki kamarnya yang sudah bertahun-tahun tidak ditempati itu. Ini kalau mau dijadikan tempat syuting horor juga sudah pantas sepertinya.

Mata Dekada melebar saat melihat papan besar di tembok belakang kamarnya sangat bersih, tidak ada satu pun foto di sana. Ia hanya menemukan lukisan besar di atasnya masih utuh, juga di atas meja samping kasurnya, itu pun sisa satu saja, dua bingkai lain sudah kosong.

“Oh, bandel,” gerutu Dekada. Dia ingat betul tadi sudah melarang istrinya untuk membereskan foto-foto di sana. Kalimat dan emoji di percakapan terakhir istrinya ternyata mengandung kejailan. Dekada menggeleng-geleng. “Nggak sekalian semuanya aja, Ci. Nanggung amat.”

Dekada mengibas tangan di depan wajah, mencoba untuk melindungi diri dari debu-debu yang tetap berhasil membuatnya bersin-bersin. Tidak mau berlama-lama di sana, Dekada lekas keluar dan menutup kembali pintunya rapat-rapat.

Tiba di meja makan, Dekada disuguhkan wajah istrinya yang tampak cemberut, terus nampak juga ujung hidungnya yang memerah, Luci berkali-kali membersihkan hidungnya dengan tisu. Dekada berpura-pura tidak peduli, ia mengambil makanannya tanpa berbicara apa pun pada Luci dan duduk dengan santainya sambil menikmati makanan.

Kepala Luci spontan menghadap belakang saat akan bersin sampai tiga kali. Ia mengusap-usap hidung dengan tisu. Gatal sekali rasanya. Gara-gara cukup lama berada di kamar Dekada yang berdebu demi membereskan foto-foto Gracia, sekarang flu menyerangnya. Mana Dekada sepertinya abai sekali.

Cinta memperhatikan menantunya yang tampak lelah karena bersin-bersin terus. “Luci lagi sakit?”

“Flu, Ma.” Luci menjawab dengan suara pelan.

“Deka, nanti ambilkan obat flu buat Luci di kotak obat, ya.”

“Suruh ambil sendiri aja,” balas Dekada santai.

“Loh?”

Para orang tua kebingungan. Baru juga tadi pagi mereka memamerkan kemesraan yang bikin iri, sekarang sudah saling cuekin begitu.

Mendengar jawaban yang menurutnya ketus itu, Luci mendengkus kesal. Bibirnya mengerucut, matanya menyorot tajam ke arah suaminya. Si suami mengangkat kepala dan menaikkan satu alis. “Apa? Bandel, sih,” katanya yang sontak membuat Luci meremas satu tangannya di bawah meja.

“Aduh, ini pada kenapa? Mbok ya bicara baik-baik kalau lagi ada masalah.” Fani pun angkat bicara, merasa cemas melihat interaksi anak dan menantunya.

“Uci kenapa?” Ganda pun ikut cemas meskipun pasti Luci tidak akan mudah memberitahu apa yang sedang dipermasalahkan dengan Dekada. Terbukti, anak bungsunya itu hanya menggeleng-geleng saja, dalam hati ngomel ke Dekada.

Melihat itu, Prasetya berdeham menegur putranya. Dekada menoleh dengan ekspresi datar. Prasetya menggeleng-geleng. “Jangan ketus begitu sama istrimu.”

“Nggak, kok, Pa.” Dekada membalas dengan suara lebih lembut dan sopan. “Nanti biar Deka bicara sama Luci.”

Luci melepas sendok dan garpu dari tangannya, menyilangkan dua benda itu di atas piring yang sudah kosong, pertanda kalau ia sudah selesai makan. “Kebetulan, aku udah selesai makan. Bicara sekarang aja, bisa?”

Behind the Camera [COMPLETED] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang