20. Janji

626 36 0
                                    

Selamat membaca! 🧡

_______________

Galen merangkul tubuh Ciara dan mengusap-usap lengannya. Ia berusaha menenangkan Ciara yang sudah menangis sejak di perjalanan tadi. Sekarang mereka berada di ruang tunggu, sementara Clinton sedang diperiksa oleh dokter. Kondisi Clinton tidak cukup baik. Semenjak dari rumah tadi, Clinton tidak berhenti merintih kesakitan.

"Papi akan sehat lagi, 'kan?" tanya Ciara parau.

Galen mengangguk cepat.

"Iya, Sayang. Papi kamu bakal sehat, tenang, ya!" Galen mengecup puncak kepala Ciara.

"Padahal tadi Papi masih baik-baik aja," isak Ciara lagi. Ia bahkan tersedak karena terlalu banyak menangis.

"Aku beli minum dulu ke kantin rumah sakit. Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Galen lembut.

Ciara menggeleng. Ia menggenggam tangan Galen, menahannya. Ia tidak ingin sendirian, ia membutuhkan Galen tetap berada di sisinya.

"Enggak usah!" ucapnya dengan suara serak.

"Sebentar saja, Sayang. Kamu butuh minum," ucap Galen membujuk.

"Enggak mau sendirian," balas Ciara lagi.

"Ada July di sini," ucap Galen. Ia menoleh ke arah Galen yang ada di sebelah kirinya. Ekspresi wajah July juga sangat khawatir, tetapi July mampu menahan air matanya. Wanita itu hanya diam sembari menggenggam tangannya sendiri.

"Enggak mau." Ciara kembali menggeleng.

"Bawa Ciara ke kantin dulu, Gal. Biar aku yang menunggu Clinton. Dia butuh tenang dan dia tadi enggak minum obatnya," ucap July dengan suara sedikit bergetar.

Galen bahkan lupa belum menanyakan perihal obat Ciara yang diminum pagi hari.

"Oke, Jul," sahut Galen pelan. Ia kemudian kembali beralih pada Ciara.

"Mungkin kita perlu pulang dulu, kamu harus minum obat, Sayang," ucap Galen lembut.

Ciara menggeleng. "Aku mau di sini saja, nungguin Papi," sahut Ciara.

Galen menghela napas. "Kalau gitu ayo ke kantin dan minum dulu!!" ajaknya lagi.

"Enggak mau." Ciara menggeleng lagi.

Galen bangkit dan menatap wajah Ciara yang kian pucat. Pagi Ciara cukup kacau, ia hanya ingin menenangkan Ciara sejenak.

"Nurut sama aku enggak?" Galen berucap tegas sembari menatap serius pada Ciara.

Ciara mengangkat wajahnya dan menatap Galen dengan agak takut. Bibirnya bergetar, ia kembali menangis.

"Ikut aku dulu, kita minum dan tenangin diri kamu. Cuma ke kantin, nanti kita kembali ke sini. Biar nanti July yang kasih tahu kita kalau dokter sudah memberitahu hasil pemeriksaan papi kamu. Kamu juga harus pikirin kondisimu, Ciara!" ucap Galen lagi.

Ciara menggeleng lagi, bersikeras untuk tidak mau ikut Galen.

Galen menghela napas. Ia mengambil ponsel di saku celananya dan menelepon rumah. Ia meminta Jennifer untuk mencarikan obat milik Ciara lalu orangnya akan datang mengambil obat itu kemudian dibawa ke rumah sakit. Setelah selesai bertelepon, ia kembali fokus pada Ciara.

"Kalau kamu enggak mau nurut, aku bakal balik ke Indonesia sekarang," ancam Galen.

Ciara semakin histeris. Ia langsung bangkit dan memeluk erat tubuh Galen.

"Kakak enggak boleh pergi. Nanti aku sama siapa?" Ciara menggeleng pelan. "Kakak jangan pergi! Ciara mau nurut," imbuhnya.

Galen mendekap Ciara dan mengusap-usap punggungnya. Ia merasa bersalah karena sudah terlalu keras pada Ciara. Akan tetapi, Ciara bukan tipe orang yang akan mudah menurut. Ia tahu Ciara kadang cukup bodoh dan membuat kesal. Sifat baik dan polosnya kadang menjurus ke sifat bodoh yang mana itu bisa berdampak buruk untuk dirinya atau orang-orang di sekitarnya. Jadi, sesekali ia memang harus keras agar Ciara mengerti.

Living Apart (Sekuel Living With Cool Boy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang