37. Telepon Penting

485 35 2
                                    

Selamat membaca! 🧡

__________________

Galen merapikan anak rambut Ciara yang menutupi mata. Ciara bahkan tidak terusik sama sekali karena gerakannya. Gadis itu masih tertidur lelap di atas ranjang. Galen pun memeluk tubuh Ciara dari samping dan turut memejamkan kedua matanya, berharap bisa kembali tidur.

Setelah kegiatan berkeringat mereka saat piknik tadi, mereka langsung kembali ke mansion. Ciara sudah ribut ingin mandi karena merasa tidak nyaman. Mereka pun mandi dan berisitirahat. Cukup drama hanya untuk tidur. Ciara memaksa Galen menggunakan piama berwarna ungu dengan motif kelinci kecil-kecil. Galen terpaksa mengalah karena Ciara ngotot. Seumur-umur, ini pertama kalinya Galen mengenakan pakaian dengan motif ramai. Baru setelah itu Ciara tertidur, bahkan belum sempat makan siang.

Galen membuka kedua matanya setelah gagal tidur lagi. Ia menghela napas panjang dan beralih duduk. Lagi-lagi perasaan kesal menghampiri saat melihat motif piamanya. Namun jika berganti, ia khawatir akan jadi masalah. Ia merasa benar-benar sudah menjadi budak cinta Ciara.

Galen mengulurkan tangannya mengambil ponsel yang berada di atas meja. Ia membaca email yang masuk, mengernyit setelah salah satunya dari Jana. Ia pun mau tak mau membuka email itu. Ia baca seksama tulisan di sana.

Jana

Galen, ada tugas kelompok. Aku mengirimkan failnya di lampiran. Ah, selain itu ada hal penting yang akan aku bahasa di pesan singkat. Buka pesanku sekarang.

Galen tidak tertarik membuka fail yang terlampir. Ia memilih mengunduh aplikasi pesannya lagi dan membuka pesan masuk di sana. Ia membaca beberapa pesan yang dikirim di grup. Setelah itu, ia membuka pesan dari Jana.

Jana

Galen, aku rasa ini penting untukmu. Sean sempat bertanya soal kita waktu lalu. Tapi aku enggak jawab jujur soal kamu. Kemudian, aku mendengarnya bicara soal perempuan yang bernama Flavia Anastasia. Kalau kamu merasa penting, telepon aku setelah baca pesan ini!

Jantung Galen berdegup kencang saat membaca nama Flavia. Namun, bukan Flavia yang sudah meninggal yang ada di pikirannya. Ia ingat Ciara sempat mengaku bernama Flavia saat bicara dengan Sean. Rahangnya mengeras. Ia masih belum tahu secara pasti motif dari Sean. Meskipun ia sudah menduga, tetapi ia tidak bisa berpacu pada dugaan.

Galen menghela napas panjang, berusaha tenang. Ia mencoba mengontrol adrenalinnya agar tidak bertindak gegabah. Ia tahu rencananya tidak berjalan lancar. Ia paham seharusnya ia masih bersama gengnya sekarang. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan Ciara yang sedang sakit dan merindukannya.

Galen menoleh ke arah Ciara yang masih terlelap. Satu tangannya terulur mengusap puncak kepala Ciara. Ia berjanji akan menjaga Ciara sampai kapan pun. Bahkan jika nyawanya menjadi taruhan, ia tidak peduli.

Galen menunduk dan mengecup kening Ciara. Setelah itu ia turun dari ranjang, berjalan menuju balkon kamar.

Galen mengangkat ponselnya dan menghubungi Jana. Ia perlu bicara dengan Jana dan membuat semuanya jelas.

"Halo, Galen!" sapa Jana dari seberang.

"Hai. Aku mau langsung pada poinnya, Jan," ucap Galen cepat.

"Ah, yang mana? Soal tugas atau pesanku itu?" tanya Jana santai.

Galen menelan ludahnya. Ia tidak bisa emosi dan menyuruh Jana cepat menjawab.

"Soal pesan lo. Pertama, jangan bicara apa-apa soal gue ke Sean atau siapa pun temen lo di sana. Lalu soal Flavia, lo bisa ceritain ke gue?" tanya Galen.

"Jadi, sekarang aku adalah orangmu?" tanya Jana alih-alih menjawab.

Galen mulai geram, tetapi ia menahannya.

"Kita adalah teman, Jan. Sesuai kesepakatan kita malam itu. Jadi, lo harus bicara sama gue," sahutnya.

Terdengar suara tawa kecil dari seberang. Galen masih setia menunggu jawaban Jana. Sebenarnya Jana tidaklah sulit, cenderung polos juga seperti Ciara. Jadi ia yakin Jana tidak akan main-main dengannya.

"Baiklah, Gal. Kamu kedengaran serius banget," ucap Jana.

"Gue emang lagi serius," sahut Galen cepat.

"Ah, benar. Kamu enggak pernah main-main. Jadi, aku akan bicarakan apa yang kamu mau tahu. Soal kita, tenang aja. Aku enggak bicara sama siapa-siapa, jadi aman. Soal perempuan itu, aku enggak terlalu paham obrolan Sean. Hanya saja, dia kelihatan terobsesi dengan perempuan itu. Aku akan mencari tahu lebih banyak kalau kamu menginginkan itu," ujar Jana.

"Lo bisa ngelakuin itu?" tanya Galen serius.

"Tentu saja aku bisa. Aku akan usahakan buat kamu, Gal. Kamu harus tahu kalau aku serius suka sama kamu," balas Jana.

Galen memejamkan kedua matanya beberapa saat, kemudian membukanya lagi. Ia tidak ingin memanfaatkan Jana, tetapi ia butuh bantuannya. Ia tidak mau Jana menuntutnya soal perasaan suatu saat nanti.

"Gue akan catat ini sebagai utang budi. Lo jangan terlalu berharap sama gue, Jan!" ucap Galen penuh penekanan.

"Terserah kamu, Gal, yang penting aku bisa ada di dekatmu terus. Atau minimal aku bisa berhubungan denganmu seperti ini. Aku rasa sudah cukup," balas Jana.

Galen tidak menjawab. Berurusan dengan wanita memang tidak semudah berurusan dengan laki-laki.

"Terserah lo juga. Gua tutup teleponnya kalau gitu," ucap Galen.

"Ah, bentar, Gal!" ucap Jana mencegah Galen.

"Apa?" balas Galen.

"Soal tugas biar aku aja yang kerjain kalau kamu masih sibuk. Kamu cukup koreksi aja nanti. Aku bakal kirim lagi kalau udah selesai," ucap Jana.

"Oke, terima kasih," sahut Galen.

"Enggak perlu berterima kasih, Gal. Aku rela kalau itu buat kamu," balas Jana.

"Hm. Gue tutup dulu." Galen tidak mendengar lagi ucapan Jana dan memutus sambungan telepon.

Galen meletakkan ponselnya di pagar balkon. Ia melipat lengan dan menumpukannya di sana pula. Tatapannya lurus ke depan, menatap jauh. Tak berapa lama getaran ponsel kembali terdengar. Galen menoleh, sebuah pesan masuk muncul di layarnya, dari Jana. Ia mengabaikannya, kembali berkutat pada isi pikirannya. Ia pun memejamkan matanya, berusaha meredakan adrenalinnya.

Galen membuka kedua matanya saat merasakan dua tangan melingkar di perutnya. Ia menatap ke bawah, kemudian memegang lengan Ciara yang memeluknya.

"Sejak kapan bangun, Sayang?" tanya Galen lembut.

Ciara menyandarkan kepalanya pada punggung Galen. "Baru aja. Kenapa Kakak di sini?" tanyanya balik.

"Cari udara aja, Sayang," jawab Galen.

Ciara melepas pelukannya dan Galen berbalik menghadapnya.

"Kakak habis telfonan sama siapa?" tanya Ciara seraya melirik ponsel Galen yang masih tergeletak.

Galen tersenyum dan melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Ciara. "Urusan geng aja. Bukan sesuatu yang penting," sahutnya.

Ciara mengangguk. Ia menengadah menatap Galen. "Kelasku hari ini gimana?" tanyanya.

"Aku udah bilang ke guru buat ditunda dan akan dijadwalkan lagi," sahut Galen.

Ciara tersenyum saja seraya menatap Galen.

"Kenapa tersenyum?" Galen mencubit pipi Ciara gemas.

"Lapar," ucap Ciara polos.

"Ya Tuhan." Galen terkekeh pelan. "Ayo kita makan!"

"Ayo!" Ciara menggandeng lengan Galen dan mereka berjalan beriringan.

___________________

To be continue...

Terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa lagi! 🧡



MeloPearl

Living Apart (Sekuel Living With Cool Boy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang