52. Tamu

432 31 0
                                    


Jangan lupa vote sebelum membaca dan setelahnya tinggalkan komen, ya...

Early access ada di karyakarsa @MeloPearl (link di bio).

Selamat membaca! 🧡

____________________


Cuaca tiba-tiba mendung dan sinar matahari di musim gugur tak lagi nampak. Padahal sekarang bahkan belum siang, tetapi waktu seperti melompat ke sore hari yang mencekam. Cuaca seolah tahu kondisi dan suasana hati Galen sekarang. Muram dan kelabu. Sementara Ciara cukup ketakutan meskipun percaya akan selamat bersama laki-laki di sebelahnya itu.

Galen menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan di tepi pantai. Tidak langsung turun, Galen tampak menghela napas dan berpikir. Entah memikirkan apa, tetapi tatapannya menerawang jauh ke depan, ke hamparan pasir putih di sana.

Ciara bahkan baru menyadari mereka berkendara cukup jauh hingga sekarang berada di daerah pesisir. Sejak tadi ia lebih banyak memejamkan kedua matanya karena terlalu takut jika terjadi apa-apa. Galen menyetir seperti orang kesetanan dan itu membuat jantungnya semakin tidak aman. Bukan hanya takut dengan mobil yang mengikuti, tetapi juga takut jika kecelakaan.

Ciara meraba sebelahnya dan mendapati botol minum. Ia ambil botol itu dan membukanya. Dengan hati-hati, ia teguk air dari dalam untuk membasahi tenggorokannya. Setelah itu, ia sodorkan botol yang dipegang pada Galen.

"Minum, Kak," ucap Ciara lirih.

Galen menoleh ke arah Ciara dan tersenyum kecil. Ia ambil botol air mineral itu dari tangan Ciara dan meneguk isinya sedikit. Setelah itu ia letakkan kembali botol minum itu. Galen menghela napas panjang, masih belum berkata apa-apa.

"Kita ada di mana, Kak?" tanya Ciara. Ia tahu sedang berada di tepi pantai, hanya saja, ia ingin tahu milik siapa bangunan di depannya itu.

"Rumah ini punya keluarga Paman," sahut Galen.

"Ah." Ciara mengangguk kecil. Ia menatap ke luar jendela mobil dan memperhatikan rumah itu. Galen belum memberinya instruksi keluar, jadi ia tetap di dalam.

"Ayo keluar!" ucap Galen.

Ciara mengangguk. Ia membuka pintu dan turun dari mobil. Setelah itu, Galen menghampirinya dan menggandeng tangannya. Sementara satu tangan Ciara masih memegang buket bunga yang dibawanya. Buket itu sedikit kusut karena digenggam erat. Namun, ia menyukainya dan masih ingin memilikinya. Sebenarnya ia ingin memajang bunga itu hingga mengering di kamarnya.

Ciara melihat Galen menekan tombol angka pada pintu yang akan dibuka. Satu tangan Galen masih menggenggam erat tangannya. Laki-laki itu seolah enggak melepaskan. Ciara paham Galen sekarang sebenarnya sangat khawatir, atau bahkan takut. Galen takut kehilangannya dan tidak bisa menjaganya. Ciara merasakan perubahan Galen semenjak mereka pergi dari toko bunga tadi. Galen yang berusaha menenangkannya sebenarnya terlihat lebih cemas. Galen yang menggenggam tangannya sekarang terlihat tidak tenang meski tanpa ekspresi.

Begitu pintu terbuka, Galen segera mengajak Ciara masuk. Pintu tertutup dengan sendirinya dan mereka berjalan ke arah sofa besar yang ada di ujung ruangan. Di belakang sofa ada jendela besar yang memperlihatkan pemandangan pantai dan lautan biru. Ciara tersenyum kecil dan merasa sedikit lega karena masih dapat meresapi keindahan alam setelah buruknya kejadian yang dialami tadi.

"Duduklah dulu, jangan ke mana-mana! Aku akan ambil minuman," ucap Galen pelan.

Ciara mengangguk sebagai jawaban.

Galen berbalik, kemudian ia kembali menoleh ke arah Ciara.

"Buat jaga-jaga, jangan terima tamu, jangan pernah buka pintu kalau ada yang datang! Oke?" pesan Galen lagi.

"Oke." Ciara mengangguk lagi. Kemudian Galen berjalan meninggalkannya.

Ciara menaikkan kakinya dan bersandar pada ujung sofa yang cukup tinggi. Matanya tak lepas dari pemandangan yang dapat ditembus dari kaca jendela itu. Beberapa menit berlalu, Ciara berbalik dan mengamati isi ruangan. Rumah itu besar, tetapi bukan yang sangat besar. Furniture tertata rapi dan rumah itu sangat bersih. Ia menduga bahwa ada petugas kebersihan yang merawatnya meski tempat itu tidak selalu digunakan.

Ciara menatap semua dinding yang bercat biru muda itu. Tidak ada foto anggota keluarga sama sekali. Bingkai yang terpasang di dinding hanya berisi lukisan dan tulisan kata-kata bijak. Bangunan klasik yang terlihat dari luar itu terasa lebih sejuk di dalamnya, cocok dengan rumah tepi pantai. Namun, kesan misterius masih terasa, ditambah beberapa lukisan aneh yang tidak Ciara pahami.

Ciara menunggu Galen, tetapi belum juga datang. Ia tidak berniat menyusul, pun tidak ingin memanggil. Entah kenapa, Ciara merasa Galen perlu waktu untuk sendiri beberapa saat. Ia tidak ingin mengganggu atau melihat keadaan yang tidak ingin laki-laki itu tunjukkan padanya. Ciara tidak bodoh, mereka baru saja minum di mobil. Galen tidak seharusnya pamit untuk mencari minum. Sebab itu, Ciara tahu pasti Galen hanya menggunakan itu sebagai alasan. Bisa saja, Galen sedang menghubungi seseorang untuk membahas insiden tadi. Ciara akan menurut dan menunggu Galen kembali. Terlebih, ia tidak akan bosan karena pemandangan indah di luar sana.

Ciara merasa pegal setelah melihat ke arah jendela terus-menerus. Ia menghela napas, kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa. Ia memegang kelopak bunga dari buketnya yang diletakkan di atas meja. Sudah cukup lama Galen pergi meninggalkannya dengan alasan ambil minum. Ciara mulai bosan dan ada rasa khawatir menghampirinya. Namun, lagi-lagi Ciara merasa tidak perlu mencari Galen. Ia justru merasa khawatir jika nanti tersesat di rumah itu.

"Nanti aku harus tanya ke Kak Galen kenapa ada orang yang mau nembak aku," gumamnya pelan.

Ciara menghela napas lagi. Ia bernostalgia dan membayangkan kejadian-kejadian sebelumnya. Setiap mereka keluar untuk berkencan layaknya pasangan normal, pasti ada saja bahaya yang menghampiri mereka. Hal seperti ini tidak bisa dikatakan kebetulan. Bisa saja setiap musuh memang mengawasi gerak-gerik Galen. Atau mungkin bahkan ia juga diawasi oleh entah siapa. Ciara jadi merasa tidak tenang.

Ting tong...

Jantung Ciara berdetak lebih cepat tatkala mendengar bel pintu berbunyi. Ia teringat perkataan Galen untuk tidak membukakan pintu pada siapa pun. Ia pun meringkuk di sofa dan berusaha mengabaikan suara bel tersebut. Berharap Galen segera datang dan membuka pintu itu sendiri.

Ting tong...

Ting tong...

Ciara menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Akan tetapi, suara bel itu tak juga berhenti. Ciara penasaran siapa yang datang. Ia tidak mendengar suara mobil sebelumnya, mungkin rumah itu kedap suara.

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Ciara pun bangkit. Ia berjalan ke arah pintu untuk mengetahui siapa yang datang. Jantungnya semakin berdegup kencang. Satu tangannya terangkat untuk menekan tombol layar intercom. Sedetik kemudian, muncul wajah seorang laki-laki dengan setelan jas yang rapi. Laki-laki itu tersenyum ke arah Ciara.

"Saya adalah kaki tangan Tuan Muda, tolong dibuka pintunya!" ucap laki-laki itu dari luar.

Ciara terdiam. Ia masih ragu untuk membukakan pintu. Namun, bukankah laki-laki itu mengaku sebagai kaki tangan Galen? Ciara menggigit bibir bawahnya.

"Tolonglah, ini mendesak," ucap laki-laki itu lagi.

Ciara merasa terpanggil. Menduga ada hal penting yang akan disampaikan orang tersebut pada Galen. Akhirnya, ia meraih gagang pintu, memutuskan untuk membukanya.

_________________

To be continued...




Jaga kesehatan dan sampai jumpa!



MeloPearl

Living Apart (Sekuel Living With Cool Boy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang