"Sus, tadi yang bawa saya ke sini siapa ya?"
"Itu, anu, namanya agak aneh Mbak." Naya dan Zein menautkan kedua alisnya. "Siapa, Sus?"
"Pinokio."
Zein dan Naya saling bertukar pandang kemudian tertawa. "Sus yang bener? Namanya Pinokio?" tanya Zein tak percaya.
"Iya, Mas. Aneh kan? Tadi dia buru-buru jadi langsung pergi gitu aja. Tapi biaya rumah sakitnya udah di bayar sama Mas-Mas Pinokio itu."
"Ini gue lagi di negeri dongeng apa gimana Zein? Kita transmigrasi ke negeri dongeng?" suara Naya membuat Zein menggeleng.
"Nggak usah aneh-aneh. Lo masih di bumi. Ayo pulang!"
"Lah, trus ini gimana? gue ngutang sama Mas Pinokio dong?"
Zein menarik Naya keluar setelah mengucapkan terima kasih pada suster. Sampai di mobil Zein, Naya masih memikirkan lelaki tersebut. Pinokio, unik, aneh.. sekilas bayangan setengah wajah tampan itu terlintas. Kemudian, Saturnus. Ya, kalung yang di pakai pemuda tadi.
Saturnus, satu-satunya yang bisa gue inget. Thanks Tuan Pinokio...
Kita, harus ketemu lagi..
Naya menyunggingkan senyum sekilas sebelum kembali menatap jalanan.
❄️❄️❄️
Raga terpaksa pulang karena dia tidak membawa baju ganti saat pulang ke apartemen Athan. Raga pikir, karena David adalah tipikal manusia gila kerja dia tidak akan berpapasan dengan Papanya. Karena Raga pulang ke rumah pukul tujuh pagi. Ternyata dia salah.
"Dari mana aja kamu?"
Suara dingin David menghentikan langkah Raga di anak tangga ke tujuh.
"Berapa kali Raga ingetin jangan datang ke tempat itu?"
"Berapa kali juga Papa harus peringatin kamu berhenti main-main sama hobi nggak jelas kamu itu?" David menurunkan koran yang di bacanya sedari tadi. "Kamu satu-satunya yang bakal nerusin perusahaan Papa. Belajar bisnis jangan foto-foto nggak jelas."
Perkataan David berhasil mengalihkan pandangan Raga pada Papanya. "Pa—"
"Papa nggak peduli dengan apa yang kamu sukai atau yang tidak kamu sukai. Yang harus kamu lakukan gampang, ikuti apa yang Papa arahkan dan kehidupan kamu akan terjamin."
Raga benar-benar muak dengan Papanya sendiri. "Papa emang nggak pernah berubah meski udah banyak kehilangan. Nggak pernah sadar sikap otoriter Papa yang udah hancurin keluarga kita."
"Cukup, Raga! Jangan bahas masa lalu."
"Dulu atau sekarang apa bedanya—"
Tanpa ingin di sela pria paruh baya itu memotong ucapan Raga. "Nggak ada yang bisa dibanggakan dari seniman, Raga. Berhenti main-main, nurut atau Papa cabut biaya—"
"Papa nggak usah khawatir. Raga bukan laki-laki pengecut yang lupa sama janjinya." Kali ini Raga yang memotong ucapan Papanya. Laki-laki itu sudah muak dengan rencana egois David. "Jangan campuri urusan Raga lagi, tentang apapun itu. Maka Raga akan nepatin janji Raga."
Tak ingin mendengar apapun lagi, Raga melangkah menuju kamarnya. Mengganti baju dengan seragam sekolah, sebelum menutupnya dengan hoodie warna grey. Setelah itu dia langsung turun menuju parkiran.
"Den Raga?"
Raga menoleh sejenak. "Bi Siti, kenapa Bi?"
"Sarapan dulu, Den. Tuan udah berangkat tadi." Bi Siti, asisten rumah tangga keluarga Aldert yang sudah mengabdi hampir dua puluh tahun lamanya. Wanita yang sudah berkepala empat itu merangkul majikannya untuk kembali masuk ke dalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ragashka [END]
Teen FictionCinta memang rumit. Seperti benang kusut yang sulit di uraikan. Memilih atau dipilih, menerima atau diterima. Semuanya bergantung pada, bagaimana Tuhan memainkan skenarionya. Raga tidak pernah menyangka akan menjatuhkan hati pada gadis berisik seper...