48. Ego

184 14 4
                                    

Aku tidak cemburu! Aku hanya tidak ingin berbagi hal sekecil apapun tentangmu kepada siapapun.


❄️❄️❄️


Setelah sekian lama dua remaja itu kembali jalan beriringan. Rasanya Zein merindukan saat-saat seperti ini, masa di mana Naya belum mengenal Raga, dan Zein yang belum menyadari akan perasaannya sendiri.

"Gue kangen lo, Na. Kangen kita yang dulu."

Suara serak Zein yang masuk di telinga Naya tampak lembut. Naya sadar betul jika diantara mereka sudah banyak yang berubah. Naya pun tidak memungkiri jika itu terjadi karena dia yang mulai melabuhkan hatinya pada sosok Raga. Untuk kali ini Naya bisa memahami perasaan Zein.

"Kita kan tiap hari ketemu meski nggak sesering dulu. Lagian kan lo juga sibuk sama kegiatan," balas Naya dengan senyum hangat.

Zein mengeratkan genggaman pada tali tas yang tersampir di sebelah pundaknya kemudian tersenyum simpul. "Aneh ya, kita ketemu hampir tiap hari tapi gue ngerasa jauh banget sama lo, Na."

"Zeiinn.." lirih Naya. Ia menghentikan langkahnya yang membuat Zein otomatis ikut berhenti. Naya menangkap sorot mata Zein yang menatapnya teduh. Tatapan yang sama namun terasa berbeda. Mungkin karena saat ini keduanya sama-sama menyadari tentang rasa yang tak seharusnya ada.

Sekali lagi Zein ingin memastikan perasaannya agar dia bisa melepas dengan ikhlas. "Gue boleh peluk lo? Kali ini aja.. gue mau berdamai sama perasaan gue sendiri. Seperti yang lo bilang, gue harus buka mata hati biar nggak nyakitin siapapun lagi tanpa gue sadari."

Naya diam sejenak. Mempertimbangkan permintaan cowok itu sebelum akhirnya mengangguk pelan. Zein memeluk Naya dengan perasaan yang sedikit berbeda. Naya bisa merasakan ketulusan dari cowok beraroma vanilla ini. Naya pun balas memeluk Zein dengan sama tulusnya.

"Siapapun orang yang lo pilih, gue cuma mau lo bahagia, Na." bisik Zein tepat di telinga Naya. "Jangan pernah nangis untuk orang yang salah lagi. Jangan pernah nangis sendirian. Kalo suatu saat lo terluka, temuin gue, pulang ke pelukan gue dan nangis di pundak gue. Gue pastiin gue ada buat lo."

Perkataan Zein menghanyutkannya pada rasa bersalah. Naya tahu betul setulus apa Zein kepadanya. Tapi ia tidak bisa memungkiri bahwa Raga masih menjadi pemenangnya. Seandainya Zein sadar akan perasaannya lebih awal, mungkin kisah ini akan sedikit berbeda. Karena harus Naya akui, sebelum bertemu kembali dengan Raga ia juga pernah menaruh perasaan yang sama. Tapi semua itu sudah lenyap sejak hadirnya sosok Raga. Dan Naya tidak ingin menjadi brengsek karena terlalu serakah.

"Makasih, Zein. Lo emang sahabat sehidup semati gue."

Zein hanya tersenyum miris mendengar itu dalam pelukan Naya.

Kalau bisa gue pengen ganti kata sahabat itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar sahabat, Na..

Tanpa mereka sadari manusia di ujung sana menatapnya dengan perasaan kecewa.

Devan yang semula sengaja menjaga jarak dengan Naya dan Zein mulai mendekat. Keputusannya memberikan mereka waktu berdua sepertinya bukan keputusan yang tepat.

Deheman dari cowok blasteran Tionghoa itu berhasil mengakhiri pelukan mereka. "Udah woy, jangan kelamaan meluknya entar makin nyaman," sindirnya, sengaja berdiri di tengah-tengah mereka. Devan merangkul pundak Zein lalu menariknya pergi. Sebelum benar-benar menjauh Devan berkata, "Na, arah jam tiga."


❄️❄️❄️


Sejujurnya Naya masih merasa kesal karena sejak telpon terakhir Raga kemarin cowok itu tidak lagi menghubunginya. Jangankan menjelaskan mengapa dia bersama Anna, sekedar mengirim pesan pun tidak. Karena itu Naya sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya bersama Zein di koridor tadi.

Ragashka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang