32. Pentingnya kepercayaan

225 20 0
                                    

Happy Reading!!!

Kasih bintang dong✨

❄️❄️❄️


Apa artinya rumah megah jika tak ada hangat di dalamnya. Semua terasa mati, yang tersisa hanyalah perasaan hampa, dingin, dan menyesakkan.

Raga menaruh lukisan yang dia bawa dari basecamp di samping meja belajarnya. Kemarin Raga tidak pulang ke rumah. Dia tidur di basecamp bersama Bagas.

Kemudian cowok itu duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur seraya memandang lukisan tadi. Lukisan terakhir yang dibuat oleh kakaknya.

"Gue kangen lo, Bang. Gue nggak pernah benci lo, meskipun gue sering iri karena Mama Papa lebih ngutamain lo daripada gue."

Raga menjambak rambutnya frustasi. Pikirannya saat ini dipenuhi oleh Naya. Perasaan bersalah juga rasa takut membuat nyalinya menciut untuk menemui Naya.

Raga merasa bersalah karena selama ini terlalu banyak menutup diri. Tetapi, dia juga tidak sanggup menceritakan masa lalunya. Rasa takut akan ditinggalkan membuat Raga menjadi seorang pengecut. Sampai beberapa hari dia bolos sekolah dan menghindari Naya untuk sementara waktu.

"Maafin gue, Na..

"Gue butuh lo.."

Cowok itu menundukkan kepalanya di lutut. Beberapa kali layar ponselnya menyala, tapi Raga tidak menyadarinya. Dia terlalu larut dalam lamunannya.

Bunyi kenop pintu membuat Raga dengan segera menyusut rembasan yang sempat ingin keluar. Dalam hati dia berdecak kesal, lagi-lagi Athan menemukannya dalam keadaan seperti ini. Sial! Tapi kali ini sepertinya Athan juga sedang kacau.

Brugh.

Raga dibuat kaget ketika Athan dengan wajah babak belurnya menghempaskan tubuh ke atas kasur. Entah apa yang terjadi dengan cowok itu selepas dari basecamp, Raga sedang tidak ingin peduli. Dia lebih memilih untuk membersihkan diri. Meninggalkan Athan yang terlentang dengan mata terpejam.

Bi Siti, ART di rumah Raga berlari kecil sambil memanggil-manggil nama Athan.

"Den Athan? Udah Bibi bilang obatin dulu itu lukanya. Sini Bibi bersihin biar nggak infeksi."

Dengan mata terpejam Athan menyunggingkan senyum sekilas saat mendengar nada khawatir dari asisten rumah tangga sahabatnya itu. Bi Siti memang orang yang sangat perhatian, bahkan Athan yakin sifat baik Raga itu turun dari Bi Siti. Yaa, meski itu hanya seujung kuku.

Athan kemudian bangkit duduk. Memasang wajah sok manjanya. "Aduh, sakit Bi.. pelan-pelan ya, Bi."

"Iya.." Bi Siti dengan hati-hati membersihkan darah yang mengering di ujung alis dan ujung bibir Athan. "Bibi heran sama kalian berdua, nggak bersyukur banget punya muka ganteng. Di bonyokin terus emang nggak sakit? Kemarin-kemarin Den Raga, sekarang kamu!" omel Bi Siti.

"Lahh, Bi siapa juga yang mau babak belur gini?"

"Lah terus ini apa namanya Den Otan..?"

"Athan," selanya membenarkan, tapi Bi Siti tampak tak peduli. "Lagi kena sial makanya akhir-akhir ini muka ganteng Athan bonyok terus."

"Kena sial kok tiap minggu."

"Ih Bibi sejak kapan jadi pinter mencibir gini?" Bi Siti hanya terkekeh pelan mendengar itu.

"Ya sudah Bibi kembali ke bawah. Kalau butuh apa-apa panggil aja ya," kata Bi Siti ketika sudah selesai mengobati luka Athan. Sedangkan Athan dan Raga kompak mengiyakan.

Ragashka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang