19. Bayangan

264 21 1
                                    

Selamat membaca!
--
Vote ya!
--
--



Mati atas nama sendiri itu jauh lebih menenangkan dari pada hidup dalam bayangan orang lain.


❄️❄️❄️


Biasanya, jalanan sore di hari minggu tidak terlalu padat. Karena tidak banyak kendaraan pribadi yang melintas seperti di hari kerja. Tadi pun sewaktu mereka berangkat jalanan masih lancar. Tapi kali ini jalan yang mereka lewati terhenti total. Hujan memang mengguyur kota Jakarta sedari siang. Namun, sepanjang perjalanan tadi tidak ada tanda-tanda banjir.

Raga membuka kaca jendelanya, mencari tahu keadaan sekitar. "Misi, Pak, ini ada apa ya?" tanyanya pada salah satu warga yang mengatur lalu lintas.

"Itu mas ada kecelakaan kontainer sama bus pariwisata, makanya jadi macet total. Mending Masnya puter balik soalnya ini pasti lama." jawab bapak-bapak yang sedang mengatur jalanan.

"Parah banget ya, Pak?"

"Iya, Mas. Atau Masnya bisa lewat jalan lain, lewat perumahan warga. Masnya masuk ke gang yang ini." Bapak itu menunjuk sebuah gang kecil tidak terlalu besar.

"Di depan ada minimarket belok kiri, lurus tiga ratus meter kemudian belok kanan. Ikutin jalan aja, nanti ada jembatan belok kiri trus nanti di depan belok kanan lagi, trus belok kiri, belok kiri lagi, abis itu belok kanan. Terakhir belok kanan nanti tembusnya di jalan raya, Mas," jelasnya lalu kembali mengatur jalan.

"Makasih, Pak!" balas Raga sedikit berteriak karena suasana yang cukup berisik. Tak lupa senyum ramah dia tunjukkan sebagai bentuk terima kasih.

Bapak yang mengatur jalanan itu menjelaskan dengan cepat dan berbelit. Serta suara klakson kendaraan membuat suaranya tidak terdengar jelas di telinga Naya. "Bapak tadi lagi ngasih tau kita jalan lain apa lagi ngerap sih, Ga? Cepet banget, mana banyak belok-beloknya lagi."

Raga tidak menghiraukan ucapan Naya. Lelaki itu segera berbelok ke jalan yang di sebutkan bapak tadi.

"Raga. Jangan nekat deh, nanti kalo kita nyasar gimana??" Ini udah sore bentar lagi malem!" gerutu Naya dengan wajah cemas.

Namun Raga masih saja terlihat santai. Dia malah memutar musik di dashboard mobilnya. "Santai aja sih, Na. Kan Bapak tadi udah kasih tau jalannya."

"Yakin nggak bakal nyasar?" Raga mengangguk mantap. "Awas kalo gue nggak sampe rumah dengan tubuh utuh dan masih bernyawa!"

Raga tertawa geli mendengarnya. "Lo takut gue apa-apain?"

Jelas, iya. Bagaimana jika yang selalu di bilang Zein itu benar? Kalau ternyata Raga tidak sebaik yang Naya lihat selama ini. Berbagai macam pikiran negatif mendadak bersarang di otaknya. Selama perjalanan Naya tidak bisa tenang. Apalagi ketika mereka melewati jalanan sempit yang gelap. Sisi-sisinya hanya lahan kosong yang terbengkalai.

"Gue nggak sejahat itu kali, Na. Sebrengsek apapun gue, gue nggak akan biarin lo dalam bahaya. Jadi tenang, okey?"

Raga seperti bisa membaca pikirannya. Tidak bisa dipungkiri, Naya sedikit merasa tenang mendengar itu. Meski rasa khawatir masih tetap ada, setidaknya, di situasi seperti ini tidak ada yang bisa Naya percaya selain Raga. Maka Naya mencoba untuk percaya dengan perkataan lelaki itu. Dia mengalihkan rasa gelisahnya dengan memutar lagu favoritnya dan ikut bersenandung.

Tanpa Naya sadari mobil yang di naikinya kini sudah melewati jalan raya. Bahkan sudah memasuki jalan komplek rumahnya. Terkejut, sudah pasti. Saat menyadari jika yang diucapkan oleh Raga benar, dia menatap Raga penuh rasa penasaran. "Raga, kok bisa kita nggak nyasar?"

Ragashka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang