Selamat membaca!
--
--Kepercayaan manusia yang banyak menelan kecewa itu ibarat gelembung sabun. Tersentuh sedikit saja akan pecah dan musnah.
❄️❄️❄️
Raga mematikan mesin motor di depan sebuah bangunan sederhana tempatnya berkeluh kesah. Langkahnya kali ini terasa ringan, siulan dari bibir tipis itu sampai terdengar ke dalam. Padahal dirinya baru hendak membuka pintu.
Athan yang sedari tadi memperhatikan Raga si muka datar yang kini tak lagi datar, hanya geleng kepala. Power of love, kadang bikin manusia kelihatan gila.
"Jadi gimana? Udah resmi belum nih?" tanya Athan, ketika Raga menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Apanya?" sahut Raga tak mengerti.
"Hubungan lo sama Naya."
Lelaki yang ditanyai Athan tersenyum penuh sebelum menjawab, "Proses."
"Proses mulu nggak ada progresnya. Jangan kelamaan, keburu di ambil orang, Ga. Saingan lo sekelas Zein Praditya, ketua osis, good boy, ganteng—"
"Gue juga ganteng," sela Raga memotong ucapan Athan.
Athan yang semula tiduran di atas karpet bulu, kini bangkit duduk. "Ganteng juga percumah kalau pelit senyum. Muka datar lo nggak jadi unggulan di sini. Lo lihat si Zein, cewek mana yang nggak bakal luluh sama cowok soft, ramah and good attitude gitu?"
"Terlalu friendly juga nggak baik, Otaan... Ghostingin anak orang jatohnya. Gue lebih memilih jaga pandangan buat satu cewek yang bakal gue treet a queen nanti. Dari pada ramah sana sini nggak jelas."
Kali ini Athan terdiam, merasa speechless mendengar jawaban Raga. Sial, jawaban skakmat sahabatnya itu mampu membungkam mulut Athan. Jujur, selama Athan berteman dengan Raga, tidak pernah terbayang sebelumnya jika Raga memiliki sisi seperti ini terhadap seorang wanita selain Mamanya.
Mungkin memang benar, mereka yang susah jatuh cinta, akan totalitas berjuangnya ketika menemukan orang yang dirasa tepat.
❄️❄️❄️
Rumah megah dengan desain elegan rasanya percumah jika tak dibumbui kasih dan cinta sebuah keluarga. Tidak ada kehangatan, yang tersisa hanya dingin, sunyi. Itulah yang Naya rasakan ketika berada di rumah Raga. Pantas saja julukannya Antarktika, karena Naya rasa lelaki itu hidup di kutub Utara. Sebagian jati diri manusia itu tercipta dari lingkungan tempat mereka tinggal, bukan? Mungkin, sekarang Naya sedikit paham tentang Raga.
Ini adalah kali kedua mereka belajar bersama di rumah Raga. Seperti biasa, tiap pertemuannya Raga selalu membuat Naya tercengang. Hanya penjelasan sekilas saja lelaki itu bisa dengan cepat memahaminya. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan di benak Naya. Dia mulai menerka-nerka, apa selama ini Raga membodohinya? Jika begitu, mungkin apa yang selalu Zein katakan kemungkinan benar.
"Ga, gue mau nanya serius deh sama lo."
Raga meletakkan bolpoinnya di atas buku yang tadi dirinya tulis. Kemudian beralih pada Naya yang sudah menatapnya serius. "Apa?"
"Lo. Selama ini lo bohongin gue, ya? Ngerjain gue? Kalau iya, maksud semua itu apa?"
"Ngomong yang jelas biar gue paham," ucap Raga yang masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan Naya.
Naya mulai mengumpulkan semua ingatan tentang Raga yang membuatnya merasa di bodohi.
"Pertama, tiap kali kita belajar bareng, lo terlalu cepet nangkep apa yang gue jelasin. Meskipun gue coba jelasin secepat kilat pun lo tetep paham. Bahkan lo bisa ngerjain soal tanpa gue kasih contoh. Mustahil kalo sebelumnya lo belum paham tapi udah bisa ngerjain semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragashka [END]
Teen FictionCinta memang rumit. Seperti benang kusut yang sulit di uraikan. Memilih atau dipilih, menerima atau diterima. Semuanya bergantung pada, bagaimana Tuhan memainkan skenarionya. Raga tidak pernah menyangka akan menjatuhkan hati pada gadis berisik seper...