❄️❄️❄️
Lelaki yang rambutnya sudah setengah basah itu masih mendribel bola asal lalu mengarahkannya ke ring. Namun, masih saja gagal, tidak ada bola yang masuk satu pun. Entah sudah berapa puluh kali dia mencoba, lemparannya selalu meleset dan berakhir membentur tiang.
"Zein! Lo mau sampe kapan diemin gue gini?"
Untuk kali ini, omongan Naya sperti angin lalu di telinga Zein. Beberapa kali Naya meneriakinya dari pinggir lapangan, dia tidak bergeming sama sekali. Hal tersebut membuat Naya geram. Gadis itu mendekati Zein ke tengah lapangan.
Naya menangkap bola yang memantul di lantai. "Lo umur berapa sih? Orang ngomong tuh di hargain, jangan cuma didenger kuping kiri keluar kuping kanan."
Zein duduk selonjoran dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Naya ikut duduk di samping Zein.
"Kenapa harus lo sih, Na?"
"Ya mana gue tau, Zein. Udah sih santai aja, gue rasa Raga orangnya nggak sejahat yang lo omongin deh."
"Tau dari mana lo? Catatan dia udah banyak Na, gue tau. Mulai dari tawuran, bolos, berantem, ngelawan sama guru, bukan hal yang nggak mungkin kalo dia juga bisa nyakitin lo," jelas Zein.
Naya menggeser tubuhnya hingga berhadapan dengan Zein. Memangku bola basket yang direbutnya tadi. Gadis bernetra hitam legam itu menatap Zein serius.
"Alghavi Zein Praditya... Gue nggak bakal kenapa-kenapa, gue cuma ngajarin dia matematika doang, bukan ngajakin Raga adu jotos. Percaya sama gue, lagian kalo ada apa-apa gue pasti hubungin lo. Jadi nggak usah lebay deh, Zein. Lama-lama lo udah kayak Mama tau nggak?"
"Gue bukan lebay Nayanika. Lo harus bisa bedain mana lebay mana khawatir!" sanggah Zein tak terima dikatai lebay.
"Hhmm, ya, ya, ya.."
Zein merebahkan tubuhnya di atas lantai lapangan basket. "Lagian gue heran, kenapa Bu Reisa minta tolongnya sama lo. Kenapa nggak sama gue gitu?"
"Emangnya apa yang mau lo ajarin, hah? Ngerjain matriks aja lo masih suka uring-uringan."
Zein mencebik kesal karena yang diucapkan Naya memang benar. Dia tidak sepintar Naya, sepertinya otak kanan Zein lebih mendominasi ketimbang otak kirinya. Terbukti dia lebih nyambung ketika memikirkan seni atau kreasi daripada berfikir kritis atau menganalisis.
"Tapi kalo si Raga macem-macem lo langsung kasih tau gue!"
"Iya, Mbah Zein.. udah ayo pulang, udah sore nih."
Kedua remaja beda gender itu berjalan menyusuri koridor menuju parkiran. Sesekali Zein mengusili Naya, atau sebaliknya. Siapapun yang melihat akan berasumsi bahwa mereka sepasang kekasih. Bahkan tak sedikit anak-anak Gema Bhakti menjodoh-jodohkan keduanya.
"Na, mampir minimarket dulu ya? Ano minta dibeliin kinderjoy."
"Lagi?" pekik Naya. "Adek lo udah ompong Zein, jangan dikasih coklat-coklatan mulu napa sih."
Zein mulai menstater motornya, menunggu Naya naik. "Ya gimana lagi, lo kayak nggak tau aja adek gue kalo nggak diturutin ngamuknya kayak apa."
"Ya justru itu salahnya. Anak kecil kalo udah biasa diturutin nanti dia keterusan bakal kayak gitu."
Zein tak membalas lagi meski Naya masih menggerutu di balakangnya. Dia fokus pada jalanan sore yang ramai.
❄️❄️❄️
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragashka [END]
Teen FictionCinta memang rumit. Seperti benang kusut yang sulit di uraikan. Memilih atau dipilih, menerima atau diterima. Semuanya bergantung pada, bagaimana Tuhan memainkan skenarionya. Raga tidak pernah menyangka akan menjatuhkan hati pada gadis berisik seper...