17. Pelipur Lara

317 21 1
                                    

Selamat membaca!!
---
---

_________________________________

Untuk luka yang tak terlihat, semoga lekas menemukan obat yang paling mujarab.

__

Ku harap kaulah pelipur laraku.


❄️❄️❄️


Selepas mengantarkan Naya, Raga ingin langsung membersihkan diri dan beristirahat. Namun, sepertinya, keadaan tidak pernah mengikuti keinginannya.

Dengan wajah masam David bersedakap dada di ruang tengah. Sudah Raga tebak pria paruh baya itu tengah murka kepadanya. Langkah Raga dihentikan paksa oleh David.

Tanpa aba-aba David melayangkan tunju kepada anak laki-lakinya. Sudut bibir Raga mengeluarkan bercak darah. Namun, dia masih diam tak membalas ataupun menghindar serangan kedua dari Papanya.

"Udah berani bantah omongan Papa, hah?!"

David kembali melampiaskan amarahnya dengan melayangkan pukulan pada Raga.

"Kamu tahu klien Papa nunggu kamu sampai sore, hah?! Papa hampir kehilangan kesempatan bekerja sama dengan beliau gara-gara kamu!"

Laki-laki yang Raga sebut sebagai Papa itu menghembuskan nafas kasar. "Kamu emang nggak pernah berguna, baik dulu maupun sekarang!"

Raga meringis saat pukulan berikutnya mengenai tulang pipinya. Seolah belum puas, David menendang Raga sampai tersungkur di lantai. "Kamu Pembawa sial! Kalau bukan karena kamu yang membuat Rega tiada, saya tidak akan repot-repot mengajari anak pembangkang seperti kamu!"

Perkataan David seperti belati yang menancap tepat di dadanya. Sakit, namun tak berdarah. Raga mengeratkan kepalan tangannya. Berusaha menelan kepahitan yang tiada henti.

David melemparkan lembaran dokumen ke muka Raga. "Pelajari itu, cari solusi untuk mengalahkan Lowsen company!" Setelah mengatakan itu, David meninggalkan Raga yang masih terduduk di lantai.

Katanya, manusia terlahir karena sebuah alasan. Raga penasaran, bagian hidupnya yang mana yang membuat dirinya menyetujui untuk terlahir ke dunia. Karena sejauh ini, tidak ada cahaya yang membuatnya merasa hidup selain redup yang temaram.

Raga meremat beberapa lembar kertas yang berserakan. Seolah menyalurkan rasa kesal atau, mungkin rasa sakitnya. Tak ingin terlihat menyedihkan, Raga pergi ke kamarnya untuk mandi.

Setelah mandi dia memeriksa isi tasnya. Untung tas yang dipakainya kali ini tahan air, sehingga bisa melindungi kameranya dari guyuran hujan. Raga melihat-lihat hasil jepretannya hari ini.

"Lucu," kata yang keluar dari mulut lelaki Antarktika ketika melihat foto gadis dengan senyum mentari.

"Manis," lanjutnya saat menggeser slide berikutnya. Tanpa sadar satu senyum terukir di bibir kakunya. "Aw, ssshh.." desahan keluar begitu saja ketika Raga merasakan sakit di sudut bibirnya.

Tring.

Udah sampe rumah?

Sial, lagi-lagi Raga merasakan sakit di sudut bibirnya saat kembali tersenyum ketika membaca pesan yang masuk. Bodoh bukan?

Sorry udah ngajakin lo main ujan-ujanan.

Oh, jaketnya nanti gue balikin kalo udah di cuci ya.

Raga baru mulai mengetik pesan balasan, tapi kemudian dia hapus kembali. Kebodohan Raga kembali menyerang. Ingin membalas dengan apa adanya tapi takut jika Naya merasa canggung. Ingin mengetik banyak takut jika gadis itu malah risih.

Ragashka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang