Epilog
Hidup terus berlanjut sebagaimana mestinya. Tetapi waktuku berhenti tepat dihari kepergian mu yang meninggalkan duka mendalam.
—Nayanika Eldorish A.—❄️❄️❄️
Tiga bulan berlalu..Kembali ke porsinya, adalah kata yang paling tepat untuk orang yang kembali menjalani rutinitas setelah diterjang badai kehidupan. Beberapa manusia mungkin menilai telah berhasil melewati jurang kepedihan. Tapi pada kenyataanya Naya masih tenggelam di sana. Di lautan duka yang hanya mampu dirasanya seorang diri.
"Thai tea, ya Van. Lo mau apa, Na?"
"Ice americanno."
Zein, Mella, dan Sabilla saling pandang saat mendengar Naya memilih minumannya.
"Gue juga americanno," tambah Athan menghentikan keheningan.
Athan tersenyum ketika Naya melihat ke arahnya. Jika biasanya Naya akan membalas dengan senyum cerah, sekarang ia hanya tersenyum seadanya.
"Gue tunggu di meja, ya," ucap Naya sebelum mengambil langkah pergi.
"O-oke. Minuman lo biar gue yang bawain," sahut Sabilla masih belum terbiasa dengan sikap Naya yang sekarang seperti lebih membatasi diri.
"Thanks, Bi."
Setelah kepergian Naya Mella mendekat ke tempat kasir. "Sejak kapan Naya suka kopi? Bukannya dia cuma doyan yang manis-manis?"
"Itu minuman kesukaan Raga," sahut Athan.
"Sekarang Naya lebih sering pesen itu daripada minuman kesukaannya," tambah Devan sambil membuatkan pesanan mereka. "Mungkin itu cara dia mengobati rasa rindunya."
Menikmati minuman favorit masing-masing sambil bencengkrama menjadi kebiasaan baru bagi mereka di hari weekend tiba.
"Eh, Than bulan ini pada mau healing ke mana?" Naya bertanya karena itu adalah rutinitas yang dulu selalu dilakukan Athan, Bagas dan Raga. "Bulan ini gue ikut, dong. Otak gue butuh dimanjakan dengan yang segar-segar nih."
"Nyurug aja gimana?" tawar Zein. "Kemarin gue liat di fyp ada Curug yang bagus. Ayok kita rame-rame ke sana."
Athan menyedot minumannya. "Bebas mau ke mana aja. Gue sama Bagas juga belum nentuin tujuan."
"Lo yakin mau ikut, Zein? Kemarin aja pas di kebun Tante Diana lo paling heboh perkara ulat jengkal. Nanti tuh di sana kita menyatu dengan alam yakin ko bisa beradaptasi?" Sabilla memulai aksi julidnya dengan memancing Mella. "Kemarin aja reaksinya gimana, Mel?"
Mella berdehem sebelum menirukan omongan Zein tempo hari. "Astaga! Baju gue jadi kotor kan, Camella. Duh sepatu gue nginjek tanah, basah, kotor—"
Zein menyumpal mulut Mella dengan kentang goreng. Sementara yang lain tergelak ketika mengingat kejadian kemarin saat Zein ikut membantu Naya menanam bunga.
Sabilla yang paling terbahak di sana. "Selama ini lo nginjek apa kalo bukan tanah? Angin?"
Zein ikut tersenyum saat melihat Naya tertawa. Sudah lama Zein tidak melihatnya tertawa seperti sekarang. Lelaki itu kini telah menerima akhir kisah cintanya. Tidak ada yang berubah dari rasa cintanya pada Naya. Zein memilih menikmatinya.
Aku hanya mampu menikmati sisi indahmu dari gelapku. Sebab, memilikimu seperti menggapai bintang di langit. Terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan.
—Alghiva Zein Praditya—
"Raga!"Naya kembali terbangun dengan mata yang basah. Lagi dan lagi. Seperti memiliki alarm di dalam tubunya, ia selalu terbangun di tengah malam dalam keadaan menangis.
Seluruh memory tentangnya dengan Raga memenuhi isi kepala, terputar begitu nyata. Pedih kembali terasa, menyayat hati sampai rasanya ingin mati. Gadis itu menjerit di balik bantal yang sengaja ia gigit. Mengeluarkan rasa sakit yang tidak mampu ia suarakan.
"Tuhan.. kembalikan dia kepadaku.. atau biarkan aku ikut bersamanya ke tempat-Mu." Naya memukul-mukul dadanya sendiri yang terasa amat sesak. "Aku tidak sanggup menanggung rasa sakit ini sendirian, Tuhan.."
Gadis itu masih menenggelamkan wajahnya dibalik bantal sambil terus menangis sampai segukan. Tidak ada yang mendengar suara tangisnya. Namun, jeritan di dalam hatinya menembus lautan.
"Aku nggak baik-baik aja, Ga.. kamu lihat, kan? Aku kangen kamu.. tiap detik, tiap waktu, aku merindukan kamu, Ga.."
Naya terus bergumam si sela-sela tangisnya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk.
"Tiap malam aku kesakitan karena terlalu merindukanmu.. Raga.. aku bahkan lupa rasanya tidur nyenyak, Ga.."
Gadis itu menyilangkan tangannya di dada, menepuk-nepuk pundaknya sendiri seperti yang pernah dilakukan Raga ketika petir menyambar di danau taman itu.
Butterfly hug yang pernah Raga ajarkan berhasil membuat nafasnya kembali normal meski sesekali masiha segukan. Seketika Naya tersenyum seolah merasakan kehadiran Raga.
"Ternyata, kamu tidak benar-benar pergi. Kamu selalu ada di sini. Menjadi obat untuk setiap rasa sakit yang ternyata kamu sendirilah sumbernya."
Kamu dan waktu itu sama. Sama-sama penyembuh untuk luka tak tersentuh. Sampai aku lupa bagian terpentingnya. Bahwa waktu juga adalah bom yang mampu memporak porandakan.
—Dari Naya kepada Raga—
LUNAS!!
AKHIRNYA SELESAI SAMPAI EPILOG.
Sekali lagi terimakasih sudah menjadi sumber semangat bagi author!Setiap notif dari kalian tuh bikin semangat buat nulis.
Jangan lupa follow karena aku akan update cerita baru!!
Yeay!!
See u the next new story'💕💕💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragashka [END]
Roman pour AdolescentsCinta memang rumit. Seperti benang kusut yang sulit di uraikan. Memilih atau dipilih, menerima atau diterima. Semuanya bergantung pada, bagaimana Tuhan memainkan skenarionya. Raga tidak pernah menyangka akan menjatuhkan hati pada gadis berisik seper...