Galan mengernyit begitu merasakan denyutan pada matanya, tetapi hal itu tak membuyarkan fokusnya pada Rani. Galan lebih mendekat dengan mata sebelah kanan tertutup sedikit rapat karena pukulan Rukan.
"Ma, ini aku Galan. Anaknya Syaputra. Kenal kan, Ma? Kata Papa aku bisa kapanpun temui Mama-"
"Saya nggak kenal dia! Saya nggak kenal Syaputra!" teriak Rani sambil terisak kembali. Tatapannya begitu frustasi pada Galan.
"Nggak mungkin, Ma. Dia-"
"SAYA NGGAK KENAL DIA!"
Rukan mendorong tubuh Galan untuk menjauh, tetapi Galan terus bertahan.
"Pergi sekarang atau gue habisin lo sekalian! Pergi, nggak!"
"Nggak! Gue nggak bakal angkat kaki dari sini walau lo ancam mau bunuh gue!" sarkas Galan sambil mendorong Rukan dengan kuat.
Dorongan Galan sangat kuat, hingga Rukan hampir oleng ke belakang. Beruntung Alkan segera menahan bobot badan kakaknya.
Galan beralih menatap Rani dengan tatapan tajam. Ia tahu hal yang membuat hatinya terluka akan terjadi jika ia nekat mendatangi ibunya. Tetapi sedalam apapun luka itu, tetap akan kalah dengan lukanya selama bertahun-tahun tanpa dampingan seorang ibu.
"Mama nggak mungkin nggak kenal Papa saya. Karena perbuatan keji kalian, saya lahir ke dunia ini. Karena perbuatan kotor kalian, saya harus hidup sengsara di dunia ini. Jadi jangan coba-coba bilang, kalau Anda tidak kenal dengan saya. Apalagi dengan Syaputra," ucap Galan penuh penekaan.
Rani menangis tertekan, bayangan masalalu yang penuh dosa itu membayang kembali. Rani hampir limbung, jika badannya tidak tertahan oleh pintu. Melihat ibunya begitu tersiksa, Alkan tak bisa diam lagi. Ia maju lebih dekat pada Galan.
"Kami emang denger semuanya dari Mamah tadi. Walau nggak begitu jelas, tapi kami ngerti maksudnya apa. Tapi lo liat sendiri 'kan gimana reaksi nyokap gue? Gue nggak mau cuma karena kehadiran lo Mamah jadi kenapa-kenapa. Jadi sebelum gue berbuat kasar, mending lo angkat kaki dari sini. Masalah keinginan lo buat tinggal di sini, mending hapus aja. Nggak akan terjadi soalnya," tutur Arkan.
"Nggak." Satu kata sahutan dari Galan membuat kerutan di kening Alkan maupun Rukan menajam.
Rukan maju lagi, menatap sangat tajam Galan yang masih menatapnya datar. Mental anak itu kuat juga. Rukan bahkan tidak menyangka Galan mampu menyahuti Dekan tadi, juga dirinya dan Alkan.
"Mau lo apa sih sialan? Jangan bikin gue jadi iblis beneran," lontar Rukan penuh penekaan.
"Mau gue, Mama dan kalian semua harus tampung gue tinggal di sini. Jatah hidup gue sama Papq udah 17 tahun. Jadi mau gue sekarang giliran Mama yang merawat gue."
"Merawat? Eh, lu bukan bayik atau pasien rumah sakit," celetuk Alkan terkekeh nyaring."
"Ralat. Gue cuma mau, Mama terima gue tinggal di sini. Terserah kalian mau terima gue atau enggak. Nggak penting juga.
Rukan terkekeh juga, tetapi tangan berurat miliknya telah mengepal keras. Melihat hal itu, Rani yang sudah jauh lebih tenang meraih lengan Rukan. Rukan menoleh dan menatap bingung.
"Biar Mamah yang ngomong sama dia, Bang."
"Tapi, Mah-"
Alkan menarik baju Rukan ke belakang, memberi jalan untuk Rani berdiri di hadapan Galan.
"Biarin dulu, Bang." Alkan berkata.
Galan berusaha mengukir senyuman tipis saat Rani menatapnya dalam. Tetapi senyuman itu tak bertahan lama ketika ia mendengar ucapan Rani.
"Saya akui kamu lahir dari rahim saya. Tapi kamu juga harus mengakui bahwa kelahiran kamu sama sekali tidak pernah saya harapkan. Bahkan orangtua saya menyuruh menggugurkan kandungan saya waktu itu. Tapi karena tuntutan nenekmu, ibunya Syaputra, saya rela mengandung kamu hingga terlahir di dunia. Kamu itu dosa saya, Galan. Semua orang pasti enggan melihat dosanya sendiri. Seharusnya kamu bisa paham dan mengerti hal itu. Harusnya kamu bisa sadar diri. Kamu nggak perlu nekat ke sini untuk mendapat pengakuan saya. Saya bukan ibu yang penyayang, jadi jangan pernah harapkan kasih sayang dari saya." Rani mengucapkan itu dengan lelehan air mata yang deras. Beradu dengan air mata Galan yang keluar sama derasnya. Pemuda itu tak bersuara, tetapi tatapannya menyiratkan ribuan luka.
Rukan dan Alkan yang mendengar dan melihat hal itu terdiam di tempat. Entahlah perasaan apa yang mereka rasakan. Alkan terlihat tak tega, ada secuil air mata di ujung kelopak matanya. Diam-diam juga, Dekan masih berdiri di balik jendela depan yang tertutup dekat pintu. Ia bisa mendengar ucapan menyakitkan Rani untuk pria yang tidak mereka kenal itu.
"M-Ma ...."
"Nggak, Galan. Jangan panggil saya Mama. Syaputra mempunyai istri, dia bisa kamu panggil Mama. Tapi saya mohon, jangan anggap saya Mama kamu."
Rukan yang mulanya menatap lantai, tersentak kaget mendengar suara isakan tangis yang jelas dikeluarkan oleh Galan. Rukan mendongkak, melihat wajah pemuda yang menangis itu.
"Mau sama Mama," ucap Galan disela isakan tangisnya.
"NGGAK BISA GALAN! Dengan cara seperti apa saya bilang ke kamu!" kesabaran Rani habis. Seperti orang depresi, Rani menatap tajam Galan.
"SAYA JUGA TETAP PADA PENDIRIAN SAYA! Saya sudah bawa barang keperluan saya dan saya nggak akan ke mana-mana," sahut Galan. Air matanya entah kapan berhenti, tatapannya lebih tegas pada Rani.
Tiba-tiba Wijaya keluar dari pintu rumah. Tatapan mereka semua tertuju pada kepala keluarga rumah tersebut. Beliau melemparkan tenda camp di hadapan Galan dengan cukup kasar.
"Kamu bilang mau tinggal di sini 'kan? Ya udah saya izinin. Itu kamar kamu yang baru," ucap Wijaya seraya menunjuk ke lantai.
Galan terdiam, ia menatap tenda di bawah kakinya. Apa ia akan rela melakukan hal ini untuk mencapai tujuannya?
"Tunggu apa lagi? Kamu bawa kamar baru kamu itu. Terserah kamu mau pilih letaknya sebelah mana. Asal jangan di depan garasi. Itu kalau kamu nggak mau saya tabrak dengan mobil saya," ujar Wijaya lagi.
Rani menatap suaminya. "Pah, kamu yakin mau biarin dia tinggal sama kita di sini?"
"Kalau dilarang juga dia bakal tetap nggak mau pulang, Mah. Biarin dia kekuh dengan egonya. Kita lihat seberapa kuat dia menjalani hari-harinya di sini. Tapi kalau masuk rumah, maaf, aku nggak izinin dia. Dia mungkin bagian dari kamu Rani, tapi dia bukan bagian dari aku dan anak-anakku," tegas Wijaya sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.
Rani menatap tenda yang masih tak tersentuh di lantai, lalu matanya kembali menatap Galan yang masih tak mengalihkan tatapan kosongnya pada tenda.
"Kamu denger sendiri kan apa kata suami saya? Masih mau tinggal di sini?"
Galan perlahan menatap Rani kembali.
"Asal aku dikasih makan sama di izinin numpang mandi, aku mau tidur di tenda selama di sini," ucap Galan begitu tenang. Rani sedikit terkejut mendengarnya. "Aku bakat loh jadi preman, Mah. Kalo nggak dikasih makan," lanjut Galan terkekeh seraya berjongkok meraup tenda cokelat yang dilemparkan Wijaya tadi.
Rani menghela napas kasar, ia melangkah masuk ke dalam rumah.
"Bang, menurut lo gimana?" bisik Alkan pada Rukan di sampingnya.
"Menurut lo aja gimana?" sahut Rukan balik bertanya.
"Menurut gue tuh orang keras kepala kek batu. Bakal kekuh dia di sini sampai dibolehin masuk," ujar Alkan cemberut.
"Berarti kita buat dia nggak betah, Dek." Rukan menyeringai.
📆Kamis, 02 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
GALAN STORY [COMPLETED]
Ficção Adolescente"Terkadang manusia memang tak tahu diri. Dirinya yang membuat kesalahan, tetapi malah membenci hasil dari perbuatan itu." Galan Ardian Syaputra. Galan itu sosok yang keras seperti batu dari luar, pembuat onar, tidak sopan, dan berbuat semaunya. "Gal...