"Amar, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya!" tegas Rania.
"Hmm, aku tahu. Tapi Rania, aku hanya ingin membuka sedikit paradigmamu. Marsha itu anak yang sangat lucu dan manis. Apa kamu nggak pengen melihat perkembangannya dan menghabiskan waktu bersama dengannya di masa tumbuh kembangnya ini?" sebuah pertanyaan awal yang sangat menyentuh hati Rania.
Sebagai seorang ibu, tidak mungkin dia tidak menginginkan melihat anaknya tumbuh. Rania ingin sekali seperti layaknya kebanyakan ibu-ibu yang bisa menemani anaknya di rumah bermain, belajar, mengajarkan banyak hal yang perlu diajarkan kepada anak-anaknya dari usia dini dan Rania juga ingin sekali punya waktu untuk jalan-jalan bersama Marsha.
Tapi semua itu sulit untuk dilakukannya karena Rania harus bekerja di weekday. Sedangkan weekend saat dia ingin keluar tubuhnya sudah merasa kelelahan.
Alhasil kebanyakan waktu liburannya digunakannya untuk beristirahat di apartemen dan hanya keluar bersama Marsha untuk belanja. Itupun cuma di fresh market yang ada di lantai dasar apartemennya. Kalau anaknya merengek minta jalan, Rania membawanya ke taman belakang apartemennya setengah jam sebelum belanja ke supermarket.
Bahkan sekedar mengajak anaknya berenang di kolam renang umum apartemennya, Rania sudah tidak punya kekuatan.
Pekerjaannya sudah menyita semua energinya sehingga weekend adalah waktunya Rania memulihkan energi agar bisa bekerja lagi esok senin.
Sehingga yang diucapkan Amar barusan belum bisa dijawab Rania. Ini menjadi peluang untuk Amar karena dia melihat wajah Rania yang gamang
"Aku hanya ingin perkembangan Marsha maksimal Rania. Dia dapat perhatian ayah dan ibunya. Aku ingin Marsha seperti anak-anak lainnya bisa bermain dengan orang tuanya lengkap. Bukan kamu yang sibuk bekerja terus dan Marsha sendirian. Aku yakin kok Aku sanggup buat ngebiayain kalian!"
'Pekerjaanku! Dia pasti ingin memecatku di akhir bulan nanti kan? Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi kebutuhanku dengan Marsha?' lagi-lagi Amar masuk di waktu yang tepat dalam kegundahan hati Rania memikirkan masa depan pekerjaannya.
Selama ini Rania cukup angkuh menolak Amar karena yakin sekali dirinya sanggup untuk menghidupi Marsha. Rania makin yakin ketika dia mendapatkan pekerjaan yang lumayan dengan gaji dan bonus yang sangat besar di Light Up. Rania tidak membutuhkan pria untuk bergantung.
Rania sangat menjaga dirinya supaya tidak jatuh pada pria manapun yang bisa menyakiti hatinya. Tapi sudah seminggu berlalu dirinya dalam kegundahan hati karena perbuatan Reza di kantor.
Sikap Reza bahkan mengerdilkan kepercayaan dirinya kalau Rania memang karyawan yang hebat! Dari dulu Rania yakin sekali kalau dirinya cukup pintar tapi lagi-lagi Reza membuatnya terlihat sangat buruk sekali performanya dalam beberapa hari terakhir.
"Ayolah Rania!"
Pikirannya yang sedang berkelana membayangkan apa yang terjadi di kantor kembali dikagetkan oleh Amar yang terlihat begitu serius memohon padanya.
"Aku ingin sekali menjadi ayahnya Marsha. Aku ingin dipanggil olehnya papa. Aku ingin ada di sisinya melihat dia tumbuh kembang dan Aku beneran sayang banget sama Marsha, Rania. Kamu boleh minta apa saja sama aku untuk meyakinkanmu Kalau aku nggak akan nyia-nyiain Marsha. Karena aku beneran sayang kalian berdua Dan Aku cuma pengen kamu tuh ada untuk Marsha, nggak sibuk dengan duniamu sendiri. Kerja lagi dan lagi lalu membiarkan Marsha hanya di tempat penitipan anak."
Ucapan Amar juga membuat Rania merasa bersalah. Anaknya sudah capek sekolah dan dia harus membiarkan anak itu tetap ada di sekolahan di saat anak-anak lain pulang ke rumah dijemput orang tuanya. Kata-kata Amar ini kembali membuat Rania menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Baby Yang Tak Diinginkan
Romance"Aku mau tubuhmu setiap hari, Rania! Kamu siap?" "Ti-tiap hari Om Reza? Terus sekolahku gimana?" Rania Juwita Raharja yang berusaha mencari sedikit kebahagiaan, berani bermain api dengan mencari sugar daddy di situs dating online hngga akhirnya bert...